berjutapena.or.id,- Di tengah dunia yang kian riuh oleh suara-suara sumbang, pelajar berdiri di titik genting ambang curam. Ia dikepung oleh laju teknologi, dibentuk oleh pasar, dan dijejali pelajaran yang kerap kali tak menyentuh kenyataan. Dalam pusaran kompleksitas zaman, pelajar tentu tak lagi bisa berdiri hanya sebagai penonton, namun berperan nyata bak aktor Sejarah dalam naungan ‘Umron’ Peradaban. Dan kini, tak luput pula mutlak tertantang untuk berpikir jernih tentang politik dan moral yang kian meroboh nan tak kunjung berdamai.
Politik, bagi sebagian generasi muda, menjelma menjadi kata yang keruh, sangat keruh. Identik dengan manipulasi, kekuasaan, dan janji-janji kosong tak berbelas hati nurani. Namun, politik sejatinya adalah urusan hidup Bersama, yakni tentang bagaimana manusia mengatur keadilan, menyalurkan suara, merawat tatanan dan harapan, serta bergotong royong membangun Peradaban. Jika pelajar justru serta merta menjauh dari politik, maka jelas, yang tinggal hanyalah kekuasaan tanpa kendali, batas moral dan asas.
Di sisi lain, moral tak cukup hanya sebagai tata krama dalam tatanan buku Pelajaran. Ia adalah api yang harus menyala juga dalam laku harian. Moral kian menuntut keteguhan dalam memilih yang benar, sekalipun itu tak menguntungkan. Dalam ranah masyarakat yang mudah tergelincir dan hancur pada kompromi nilai, pelajar tentu menjadi baris terakhir dalam bersiaga untuk membela akal sehat dan Nurani yang tak mungkin terbengkalai.
Agama, dalam konteks ini, tentu bukan hanya sekadar soal surga dan neraka. Agama adalah ruang pengasahan empati, kesadaran dalam bersosial, dan keterlibatan nyata dalam hidup yang bermasyarakat. Ketika nilai-nilai keimanan tidak diterjemahkan dalam tindakan konkret, seperti kejujuran, solidaritas, dan keberanian dalam bersikap, maka agama, bisa di pastikan hanya akan menjadi hal sia berbentuk hiasan.
Kita, tentunya menyaksikan generasi muda yang tumbuh dengan teknologi dalam genggaman, tapi kerap terperosot dan menjadi kehilangan arah. Di ruang-ruang digital, banyak pelajar ‘dicekoki’ ujaran kebencian, ‘dikaburkan’ oleh batas antara mana fakta dan hoaks, ‘digiring’ untuk membenci atas nama suci. Di sinilah pentingnya Pendidikan yang tak hanya memindahkan pengetahuan semata, tetapi juga berperan menumbuhkan karakter dalam-dalam, hingga memadukan nalar kritis dan keluhuran budi akan akhlak.
Dalam literatur Sejarah Indonesia, pelajar bukan sekadar pelengkap demografi. Ia adalah pemantik utama dalam menggagas perubahan. Dari Sumpah Pemuda hingga Reformasi, suara pelajar kian mengguncang. Dan kini, ketika dunia tak lagi hitam-putih belaka, tantangan pelajar bukan sekadar melawan rezim, tapi menghadapi kompleksitas zaman dengan pikiran jernih serta hati nurani dan sikap berani nan semangat juang tanpa kenal mati.
Maka sejatinya, pelajar harus kembali bertanya. ‘Untuk apa belajar? dan Untuk siapa berpikir?’ Jika jawabannya hanya demi nilai, ijazah, gelar dan pekerjaan semata, maka yang tersisa hanyalah kecerdasan tanpa ruang arah. Tapi jika belajar dimaknai sebagai ikhtiar membentuk Peradaban dunia yang lebih adil dan manusiawi, maka pelajar adalah harapan besar sekaligus kunci nyata bagi suatu Bangsa dan Negara.
Di tengah gelombang ekstremisme yang memecah dunia Islam, Indonesia berdiri sebagai pengecualian yang membanggakan. Keberagaman yang dirawat, toleransi yang kian diperjuangkan, dan demokrasi yang terus menerus disempurnakan, menjadikan negeri ini contoh nyata, bahwa Islam dan kemodernan tak perlu saling menafikan. Sudah saatnya para Pemuda dan Pelajar Indonesia tidak hanya bertahan sebagai penonton dalam bidak percaturan wacana global, melainkan berdiri tegak nan gagah dalam menginspirasi dunia Islam. Bukan dengan retorika belaka, tetapi melalui praktik nyata. ‘Pendidikan yang mencerdaskan, politik yang beradab, dan moral yang tak goyah di tengah teriknya badai zaman’. Jika pelajar kita mampu mewujudkan ini, maka dari kampus-kampus dan ruang-ruang kelas di seluruh negeri ini dan diaspora Indonesia yang menyebar di seluruh belahan dunia, akan lahir para pemikir dan pemimpin yang bukan hanya memajukan bangsa, tetapi juga menggagas nyata menyalakan obor Peradaban Islam Dunia.
Zaman boleh berubah. Kekuasaan bisa berganti. Tapi bangsa yang besar, hanya akan tetap tegak jika generasi mudanya menjaga akal sehat dan moral. Pelajar hari ini adalah penjaga hari esok. Di tangannya, masa depan bukan sekadar andai-andai kemungkinan belaka, tetapi mutlak menjadi suatu tanggung jawab nyata nan mulia.
Penulis : Dini Zainia Nafi’ (Mahasiswi Ez-Zitouna University Of Tunis, Tunisia) – Peserta Lomba Literasi
Leave a Reply