Ketika Dunia Terlalu Cepat Maka Pelajar Butuh Kompas Bernama Adab

berjutapena.or.id,- Di tengah percepatan zaman yang didorong oleh teknologi, globalisasi, dan arus informasi yang tak terbendung, pelajar Indonesia menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks dari sebelumnya. Tantangan ini bukan hanya soal capaian akademik atau adaptasi terhadap kecanggihan digital, melainkan juga tentang bagaimana tetap menjaga nilai-nilai dasar kemanusiaan, seperti adab dan moral. Adab, yang dalam tradisi Islam klasik dipahami sebagai sikap dan perilaku yang baik dalam menuntut ilmu, kini tampak mulai memudar dari ruang-ruang pendidikan formal. Padahal, adab sejatinya adalah pondasi utama yang menopang kebermaknaan ilmu. Seperti dikatakan Imam Malik kepada murid-muridnya: “Pelajarilah adab sebelum kalian mempelajari ilmu.” Namun, dalam konteks pendidikan hari ini, terutama di jenjang sekolah dan perguruan tinggi, adab lebih sering menjadi pelengkap kurikulum, bukan inti dari proses pembelajaran.

Fenomena menurunnya kualitas adab di kalangan pelajar sebenarnya bukan sekadar wacana kosong. Data dan realita menunjukkan bagaimana krisis moral makin mengakar. Menurut penelitian Permady, Taufik, dan Mardiana (2023) dalam Jurnal Edukatif, pembentukan akhlak dan adab melalui pendekatan spiritual dan keteladanan terbukti sangat efektif dalam membentuk karakter siswa, namun penerapannya belum merata secara sistemik. Mereka menggarisbawahi bahwa adab bukan sekadar diajarkan, melainkan harus ditanamkan dalam keseharian, terutama oleh guru sebagai figur panutan utama dalam pendidikan (Permady et al., 2023). Sayangnya, adab hari ini lebih banyak berhenti pada slogan. Di ruang kelas, adab pelajar sering kali kalah oleh ambisi mendapatkan nilai tinggi, dan di ruang digital, interaksi antar pelajar sering kali sarat dengan ujaran kebencian dan minim etika. Pelajar lebih akrab dengan algoritma sosial media dibandingkan dengan nilai-nilai sopan santun atau penghormatan kepada guru dan sesama.

Dalam laporan Kompasiana (2024), disebutkan bahwa menurunnya kualitas moral dan adab remaja tidak bisa dilepaskan dari lemahnya pola pengasuhan dan sistem pendidikan yang terlalu menekankan aspek kognitif semata. Artikel tersebut menggarisbawahi bahwa remaja saat ini lebih mudah menerima informasi yang tidak terverifikasi, mengikuti tren tanpa saring nilai, serta rentan terhadap krisis identitas karena minimnya pembinaan karakter sejak dini. Jika pelajar hanya dibentuk untuk menghafal dan lulus ujian, maka nilai-nilai seperti kesabaran, kejujuran, dan penghargaan terhadap sesama akan semakin terpinggirkan. Di sisi lain, lembaga pendidikan sering kali terlalu fokus pada standar mutu akademik dan lupa bahwa tujuan akhir dari pendidikan adalah membentuk manusia seutuhnya, bukan sekadar mesin penjawab soal.

Tentu kita tidak dapat menyalahkan pelajar sepenuhnya. Mereka hidup dalam dunia yang dijejali stimulus visual, informasi instan, dan kompetisi tanpa akhir. Dalam situasi seperti ini, adab harus menjadi jangkar moral, bukan sekadar teori di pelajaran Pendidikan Pancasila. Adab dalam belajar misalnya, bukan hanya berarti menghormati guru, tetapi juga menghargai proses belajar itu sendiri—menahan diri dari plagiarisme, berdiskusi dengan bijak, dan tidak menjadikan pendidikan sebagai alat pamor semata. Penelitian Indra dan Syahrizal (2023) dalam Jurnal Pendidikan Islam menjelaskan bahwa adab dalam proses pembelajaran dapat meningkatkan kesadaran sosial dan keterampilan interpersonal siswa. Mereka menemukan bahwa lingkungan belajar yang menjunjung tinggi adab mampu menciptakan ruang pembelajaran yang lebih sehat, reflektif, dan inklusif.

Menarik jika kita mengaitkan ini dengan figur Syaikhona Kholil Bangkalan, seorang ulama besar yang bukan hanya menjadi panutan dalam hal keilmuan, tetapi juga dalam keteladanan adab. Dalam catatan sejarah, beliau mencontohkan bentuk adab sejati dalam menuntut ilmu: mulai dari menulis ulang kitab demi membiayai gurunya, hingga menahan lapar demi pengabdian. Figur seperti Syaikhona menjadi pengingat bahwa pendidikan yang sejati tak hanya melahirkan cendekiawan, tapi juga pribadi yang berjiwa luhur. Ia adalah bukti bahwa adab tidak hanya relevan di masa lalu, tetapi sangat mendesak untuk dihidupkan kembali dalam dunia pendidikan masa kini.

Pelajar hari ini memiliki potensi luar biasa. Mereka fasih dengan teknologi, tanggap terhadap isu global, dan adaptif dalam menghadapi perubahan. Tapi potensi itu tidak akan berarti jika tidak ditopang oleh nilai moral yang kuat. Jika generasi ini ingin benar-benar menjadi pemimpin masa depan, maka mereka harus lebih dulu menjadi manusia yang bermartabat. Dan martabat itu tidak dibentuk oleh kecerdasan buatan, tetapi oleh kecerdasan hati yang hanya tumbuh dalam ruang-ruang adab.

Sudah saatnya adab tidak lagi ditempatkan sebagai pelengkap, tetapi sebagai pilar dalam sistem pendidikan. Kurikulum harus dirombak bukan hanya untuk mengakomodasi revolusi industri 4.0, tetapi juga untuk menyiapkan revolusi karakter. Guru harus diberdayakan sebagai teladan, bukan hanya pelaksana kurikulum. Dan pelajar harus dibimbing untuk tidak hanya mencari gelar, tapi mencari makna dalam proses belajar. Karena dalam dunia yang terus bergerak cepat, pelajar membutuhkan satu hal yang tetap dalam dirinya yaitu kompas bernama adab.

Referensi

Permady, D. A., Taufik, H. N., & Mardiana, D. (2023). Pendidikan Adab dalam Membentuk Akhlak Siswa: Studi di Madrasah Aliyah (MA) Bilingual Batu – Jawa Timur. Edukatif: Jurnal Ilmu Pendidikan, 5(6). https://edukatif.org/edukatif/article/view/5734

Indra & Syahrizal. (2023). Adab Dalam Belajar dan Pembelajaran; Strategi untuk Meningkatkan Kesadaran dan Keterampilan Sosial Siswa. Neliti.com

Kompasiana. (2024). Menurunnya Kualitas Adab dan Moral Para Remaja Saat Ini. https://www.kompasiana.com

 

Penulis : Fauzen (Mahasiswa Universitas Trunojoyo Madura) – Peserta Lomba Literasi

Redaksi Berjutapena
Dikelola oleh Lembaga Pers, Penerbitan, dan Infokom PC IPNU IPPNU Situbondo