berjutapena.or.id,- Media sosial sering kali menjadi arena perdebatan publik yang cukup melelahkan. Bagaimana tidak, ketika semua orang berbicara mengenai suatu hal, tak ada dari mereka yang tidak tahu. Semua merasa tahu dan ingin terlibat dalam perdebatan: orang awam bersuara dengan angkuh, pakar menjawab dengan perasaan frustasi.
Di tengah derasnya informasi yang tak terbendung, batas- batas perbedaan antara para pakar dan orang-orang awam pun semakin menghilang. Platform digital dan jejaring media yang semakin sengkarut memaksa kita untuk menerima informasi yang bahkan sama sekali tidak kita butuhkan. Kita dipaksa mendengar cuitan-cuitan orang bodoh dan tidak kompeten yang berlagak sok tahu tentang segala hal.
Inkompetensi yang jarang disadari orang awam sedikit demi sedikit membunuh kualitas intelektual para ahli dan cendekiawan. Suara pakar menghilang; terkubur dan tertimbun tumpukan-tumpukan pendapat, opini dan teori ngawur netizen yang keras kepala. Hari ini kita benar-benar dilanda sebuah fenomena yang oleh Tom Nichols dianggap sebagai Matinya Kepakaran (The Death Of Expertise).
Suka tidak suka, internet menjadi salah satu penyebab yang mempercepat kematian massal para pakar. Tahun 2020 misalnya, banyak orang yang lebih percaya konten unfaedah ketimbang saran dokter agar berdiam diri di rumah selama masa pandemi. Gara-gara konten konspirasi yang tidak bertanggung jawab, hampir semua orang menolak vaksin dan meyakini bahwa covid-19 adalah propaganda industri elit kesehatan. Akibatnya, covid justru membunuh tidak lebih banyak dibanding kebodohan dan sikap keras kepala orang awam itu sendiri.
Jika menuding internet sebagai senjata pembunuh pakar dianggap wajar, lalu bagaimana dengan kecerdasan buatan bermodel percakapan? Kalau jawaban mesin percakapan (Chatgpt) dianggap sebagai rangkuman dari berbagai data yang terkumpul, kenapa kita tidak mau mempercayainya? Lagi pula, siapa yang mau membuang-buang waktu membaca sekian banyak artikel hanya untuk satu kebenaran di saat kesimpulan disajikan secara singkat dan instan oleh asisten virtual mesin jawaban? Tapi tunggu dulu, barangkali letak masalah kita yang sebenarnya adalah keinstanan itu sendiri. Semakin instan informasi yang kita dapat, semakin malas untuk mencari jawaban secara mandiri. Dan karena itu, semakin membuktikan bahwa sebenarnya kita tidak benar-benar memiliki pengetahuan.
Anda punya gelar? Nah, saya punya internet dan AI!
Ketika berbicara soal matinya kepakaran, hampir bisa dipastikan, jawaban-jawaban para profesional menuding internet sebagai biang keladinya. Orang-orang yang dulu sering meminta nasihat kepada para spesialis, sekarang hanya tinggal memasukkan tulisan ke dalam mesin pencarian. Dalam hitungan detik, aneka ragam jawaban yang mereka cari tersedia dengan rapi. Untuk apa repot-repot mendatangi orang yang lebih berpendidikan dan berpengalaman, jika anda bisa mendapatkan informasi sendiri?
Tetapi, kadang-kadang informasi yang disajikan Google masih kurang memuaskan hasrat keingin tahuan kita. Manusia biasanya cenderung menyukai jalan yang lebih pintas ketimbang jawaban yang disajikan secara acak dan prasmanan oleh mesin pencari. Sebagai gantinya ChatGPT atau OpenAI menjadi pilihan yang paling tepat untuk semua pertanyaan dan kebingungan kita. Kenapa harus membaca semua artikel yang ditawarkan “Google” atau “Yahoo!” ketika semua jawaban terangkum dengan baik oleh mesin percakapakan yang mampu mengolah data menjadi informasi yang lebih baru?
Inilah masalahnya! Kesenjangan yang terhapus antara para ahli dan orang yang sok tahu tidak lebih banyak dilatarbelakangi mesin pencarian ketimbang mesin percakapan. Rangkuman jawaban instan dari sebuah kecerdasan buatan ini, melahirkan pandangan bahwa belajar selama lebih puluhan tahun di universitas ternama seakan menjadi sia-sia dihadapan orang yang hanya berbekal ChatGPT. Guru online yang mampu menyediakan sekian banyak jawaban hanya dengan sepersekian detik ini, mampu membuat orang awam percaya diri, sekaligus menuding pakar sebagai orang yang tidak mampu memanfaatkan teknologi.
Akibatnya, alih-alih AI membantu orang-orang yang sedang kesulitan. Mesin yang menawarkan jawaban instan ini malah menciptakan virus “Efek Dunning-Kruger”. Sebuah penyakit kognitif yang ditemukan David Dunning dan Justin Kruger (Dua orang peneliti psikologi Cornell University). Secara singkat, efek ini mengatakan bahwa semakin bodoh anda, semakin anda yakin bahwa anda sebenarnya tidak bodoh. Inkompetensi berhasil merampas kemampuan anda untuk menyadari kesalahan-kesalahannya. Sementara keyakinan bahwa anda tidak bodoh semakin diperkuat dengan adanya mesin cerdas model bahasa buatan ini.
Jika hanya lintas daring, jangan pernah takut berdebat dengan seorang profesor atau guru besar di universitas unggulan. Anda hanya perlu menunggu argumen mereka sembari meminta OpenAI untuk membantu menyusun jawaban dan argumen terbaik. Satu kali klik, mereka akan terdiam dengan argumen anda, bahkan orang lain akan berdecak kagum sambil lalu meremehkan lawan debat anda (Para pakar dan Ahli).
Ketergantungan yang berlebihan terhadap jawaban-jawaban AI membuat kita minim refleksi. Saat ada tanggapan yang kurang beres misalnya, kita enggan merenung dan mengkritisi. Kecerdasan buatan membunuh kemampuan metakognisi manusia dengan memberi jawaban-jawaban instan dan meyakinkan. Padahal dengan metakognisi, orang-orang dapat menyadari batasan-batasan kemampuannya. Kita akan tahu apa yang memang kita tahu, sekaligus kita tahu apa yang benar-benar tidak diketahui.
Namun, kelemahan metakognisi membuat kita keras kepala dan tidak menyadari kesalahan yang kita perbuat. Yang lebih parah, naluri insani kadang terlalu melebih-lebihkan kapasitas seseorang dan semakin mendukung ke-pedeannya. Apalagi jika itu berhubungan dengan kemampuan yang tidak ada timbal baliknya. Dalam badminton misalnya, sebelum mengakui bahwa anda bukan pemain yang hebat, anda hanya perlu beberapa kali gagal memukul shuttlecock-nya. Tapi dalam berbahasa, meski setiap hari seorang pelajar merusak sintaksis dan melanggar aturan berpikir, ia sangat sulit menyadari ketidakmahirannya dalam berbicara dan menulis. Tetapi demikian, tidak berlaku bagi orang yang memiliki daya pikir metakognisi.
Dengan rentang waktu kurang dari satu dekade, kecanggihan kecerdasan buatan berbasis dialog ini telah menciptakan sebuah ilusi pengetahuan. Orang-orang yang tidak cukup cerdas, semakin merasa lebih cerdas dari siapa pun. Mereka yang hanya memiliki sedikit bekal pengetahuan, semakin berani mencela pakar dan mengotak-atik ilmu pengetahuan yang telah mapan. Sementara dunia menjadi semakin kompleks, justru menyadari betapa bodoh dan kurang memahaminya kita tentang sesuatu yang terjadi, kita selalu gagal dan gagal.
Wara’ dan Mawas Diri; Sebuah Meditasi di Tengah Genggaman Teknologi
Hampir semua cabang sains dan filsafat kurang sanggup menghadapi tantangan dan bencana komplek abad 21 ini. Dan belum tentu semua benar-benar menawarkan solusi yang pasti tepat. Dewasa ini, hanya agama yang menjadi satu-satunya sistem yang cukup relevan dan membantu.
Salah satu ajaran dan pedoman hidup dari agama adalah meningkatkan seni wara’ dan mawas diri. Sebuah keterampilan yang membimbing manusia untuk kembali ke hakikatnya. Ia mengajarkan kita untuk berani diam meski bisa bicara, memilih menahan walau dapat meraih.
Wara’ dan mawas diri dapat menjadi tameng di kala kita sering dihantui oleh rayuan untuk sombong, pamer, unjuk kemampuan, serta suka berkomentar meski tanpa ilmu. Kita lebih memilih diam ketika godaan debat menyulut ego. Dari pada hanya menambah kegaduhan, kita lebih memilih tidak berkomentar meski merasa benar dan punya argumentasi yang valid.
Sikap kerendahan hati ini bukan berarti mengajarkan kita untuk bersembunyi di balik keputusasaan. Bukan mengajarkan cara menyerah dalam menghadapi keadaan. Ia hanya mendorong manusia untuk selalu mampu memahami pikirannya sendiri. Membimbing manusia untuk fokus dan mengekplorasi diri ketimbang sibuk dengan apa yang ada di luar kendali. Sehingga demikian, kemampuan metakognisi manusia kembali tajam dan akurat.
Penulis : M. Izzul Qornain (Mahasantri Ma’had Aly Situbondo) – Peserta Lomba Literasi
Leave a Reply