berjutapena.or.id, – Kisah singkat ekologi
Ekologi, begitulah Mbah Von Haeckel menyebutnya untuk pertama kalinya di tahun 1866. Istilah itu dibuat dari gabungan kata oikos (rumah) dan logos (ilmu). Secara teknis ekologi adalah bagian dari ilmu biologi. Kajiannya itu mempelajari interaksi makhluk hidup dengan makhluk hidup lain dan lingkungan sekitarnya. Di tahun 1960-an istilah ekologi mulai populer sejak orang-orang mulai mengkhawatirkan polusi, pola konsumsi energi, perluasan wilayah dan persediaan pangan. Kekhawatiran tersebut melahirkan kesadaran bahwa umat manusia butuh semacam metode pengelolaan yang tepat dan seimbang. Ternyata manusia juga perlu memperhatikan hubungan mereka dengan tetangganya (makhluk lain) dan tempat tinggalnya. Ekologi pun viral di kalangan aktivis rendahan, pecinta lingkungan elite, hingga pejabat pemerintah.
Sekarang ekologi bukan sekedar cabang biologi. Dengan kata lain tidak hanya mengandung unsur sains. Lebih dari itu, ekologi memiliki kait-kelindan dengan semacam nilai dan moral. Dimensi lain ekologi ini disebut juga Deep Ecology (DE), digagas petama kali tahun 1972 oleh Arne Naess, orang Norwegia. Lalu orang-orang mulai mempertanyakan perusahaan batu bara, pabrik mobil, energi nuklir dan deforestasi. Apakah perusahaan mereka selaras dengan nilai ekologi atau bertentangan. Hanya saja pertanyaan ini dilontarkan secara formal berupa pengujian lab dan serangkaian administrasi. Kebanyakan orang masih butuh legitimasi formal untuk peduli.
Ekologi; Antara Legitimasi Hukum Dan Nilai Moral
Meskipun sebagian orang telah menyadari pentingnya merawat lingkungan dan bahkan mengupayakan perbaikan, kesadaran semacam itu belum merata di tengah masyarakat. Tetap akan ada saja tindakan merusak. Bukan karena tidak tahu bahwa merusak lingkungan itu merugikan umat manusia. Namun karena minimnya kepedulian terhadap isu ekologi. Penebang hutan tahu bahwa tindakannya bisa mengakibatkan serangkaian bencana seperti banjir dan longsor. Dia bertanggung jawab secara moral kepada penduduk di sekitar hutan. Tapi betapa pun penebang menyadari itu, niat menebangnya tidak hilang.
Nilai moral yang diangkat menjadi legitimasi formal maka jelas kekuatannya. Contohnya, dengan adanya polisi hutan para penebang pohon tidak lagi sembarangan menebang. Penebang butuh surat resmi untuk dibolehkan menebang. Tapi bukan berarti masalahnya selesai. Meskipun penebang liar tidak berani berulah, masih ada penebang lain yang bisa meratakan hutan secara legal. Persoalan ekologi belum sepenuhnya teratasi dengan formalitas. Dalam skala luas dan banyak konteks, lembaga atau aparat justru turut menjadi aktor dalam perusakan alam. Dengan demikian yang patut kita perjuangkan adalah kesadaran moral. Yang murni, bukan formalitas. Kepedulian terhadap lingkungan tidak cukup hanya dituangkan dalam aturan formal. Namun diaplikasikan nyata oleh setiap individu dengan dorongan pribadi.
Bicara moral, kita kembali mengingat teori-teori moral, mengurusi benar-salah, tepat-sesat dan baik-buruknya suatu tindakan. Secara umum moral bersifat intra-subjektif dan teritorial. Yakni disetujui oleh sekelompok orang di dalam satu komunitas baik masyarakat, negara atau umat manusia. Oleh karenanya, moral lebih banyak berbeda-beda antar daerah sesuai kebudayaan dan kepercayaan. Apa yang menurut orang Eropa baik belum tentu menurut orang Asia juga baik. Namun demikian terdapat nilai moral universal yang pasti disetujui oleh semua pihak di semua daerah seperti Human Rights (Hak Asasi Manusia). Terkait nilai moral yang terkandung dalam ekologi, kepedulian menjaga lingkungan, sebetulnya itu nilai moral baru atau bahkan masih asing di telinga sebagian orang. Namun jika ditelaah lebih dalam, manfaat daripada moral tersebut toh pada akhirnya kembali pada manusia sendiri. Jadi bisa dikatakan sebagai moral universal juga.
Ekologi Sebagai Nilai Spiritual
Katakanlah semua orang telah memahami bahwa kepedulian terhadap lingkungan itu perlu. Pertanyaannya kemudian apakah dengan memahami itu bisa mengubah tindakan merusak? Tentu pertanyaan ini tidak susah, tapi bukan juga mudah. Karena akan selalu ada alasan di balik setiap deforestasi, konsumsi sumber daya, dan adanya limbah. Pertimbangannya adalah kemajuan, inovasi, teknologi dan segenap ide brilian lain. Bukankah itu juga menjunjung moral dalam bentuk lain. Maka hemat kami, ekologi dipandang sebagai nilai moral pun masih kurang powerfull. Di sini kita akan mengubah sedikit paradigma ekologi dari nilai moral menjadi nilai spiritual.
Semua prinsip etika dalam Islam bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Keduanya merupakan landasan utama umat muslim. Termasuk dalam konteks ekologi, Al-Qur’an telah banyak menyinggung bagaimana seharusnya hubungan manusia dengan alam. Perhatikan ayat populer ini: (ومَآ أرْسَلْنٰكَ الَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ ۞) Dan tidaklah kami utus kamu kecuali sebagai rahmat kepada alam [Q.S Al-Anbiya’: 107]. Dalam beberapa tafsir, pemaknaan ‘alamin’ lebih ditekankan kepada umat manusia khususnya muslim. Namun sesuai dengan qaidah lughawi dalam ushul-fikih, ‘Alamin’ merupakan kalimat umum yang mencakup banyak afrad di dalamnya. Bukan hanya manusia, tapi hewan, tumbuhan dan bahkan benda mati juga termuat dalam kalimat tersebut.
Banyak bukti menunjukkan bahwa ayat tersebut menghendaki pemaknaan alam semesta, bukan hanya manusia. Dibuktikan sikap dan karakter Nabi Muhammad yang mencerminkan kasih-sayang secara luas. Beliau melarang menyiksa binatang: Barang siapa menyiksa suatu yang punya ruh kemudian tidak bertobat maka Allah akan menyiksanya di hari kiamat (HR. Abdullah bin Umar). Binatang tidak dibebani pekerjaan di luar batas kemampuan. Menyembelih binatang harus dilakukan segera agar tidak merasakan sakit yang lama. Bahkan pohon kurma pernah menangis rindu karena kasih sayang Nabi Muhammad terasa membekas. Dari sini kita memahami bahwa proyek kenabian Muhammad tidak cukup dalam konteks hubungan manusia dan Tuhan atau manusia dan manusia, namun juga antara manusia dan lingkungan. Menebarkan rahmat pada lingkungan, atau dengan kata lain peduli ekologi, merupakan cakupan ajaran Islam. Secara otomatis, dengan menjaga lingkungan berarti melaksanakan etika Islam.
Dalam Islam kita mengenal istilah al-bi’ah (lingkungan) untuk mewakili istilah ekologi dan deep ecology. Prinsip-prinsip dalam al-bi’ah mencerminkan perhatian Islam terhadap lingkungan. Beberapa kali al-Qur’an menyebutkan lingkungan yang manusia tempati untuk menyelipkan pesan. Misalnya pada ayat: Dialah Allah yang memanjangkan bumi dan menjadikan di dalamnya ada gunung-gunung dan sungai-sungai. Dan di setiap buah-buahan Allah menjadikannya berpasang-pasangan. Allah menutupkan malam pada siang. Sesungguhnya di situ terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir (Q.S ar-Ra’d : 3). Di sini Allah Swt mengajarkan bahwa alam merupakan media untuk tafakkur. Keindahan alam akan mengantarkan manusia menyadari kebesaran-Nya. Beberapa kali Allah Swt secara eksplisit melarang manusia berbuat rusak di bumi. Di antaranya terdapat dalam Q.S al-A’raf : 56, Q.S al-Baqarah : 11-12, 30, 60, Q.S al-A’raf : 74, Q.S al-Qashash : 77, Q.S ar-Rum : 41, dan Q.S Yunus : 41. Masing-masingnya memiliki konteks yang berbeda namun dengan tujuan yang sama. Bahwa manusia tidak sepantasnya berbuat kerusakan, eksploitasi dan mengunggulkan kemanusiaan tanpa memerhatikan lingkungan.
Penutup
Ekologi memiliki banyak sekali sisi dan dimensi di dalamnya. Ada tuntutan formal, tuntutan moral, dan tuntutan spiritual. Tuntutan formal seperti yang kami jelaskan sebelumnya adalah peraturan resmi pemerintah. Tuntutan moral adalah kesadaran diri (self awareness). Sementara tuntutan spiritual adalah perintah Tuhan. Namun yang kami tonjolkan di antara sekian sisi itu adalah sisi ekologi sebagai nilai moral dan ajaran agama. Dengan memandangnya sebagai perintah agama maka ekologi bernilai ibadah. Ada pahala di setiap penanaman pohon, memungut sampah, dan kegiatan positif lain. Ada pahala juga di setiap kita menahan diri tidak melakukan perusakan lingkungan. Kita mendapat impact tidak hanya berupa kenyamanan hidup di dunia, bahkan hingga ke akhirat nanti.
Peserta : Ubaidillah Alahrori (Mahasantri Ma’had Aly Situbondo) – Peserta Lomba Literasi
Leave a Reply