berjutapena.or.id,- Sekilas terdengar manis, makanan bergizi gratis di sekolah.Di balik kelezatan aroma nasi hangat dan lauk pauk yang menggoda, ada cerita lain yang perlu dikupas: anggaran pendidikan yang disusutkan demi mewujudkan program ini.Sebelum kita membahas lebih jauh tentang implementasi program makanan bergizi gratis (MBG) yang rencananya akan didistribusikan ke seluruh sekolah di Indonesia, mari kita pahami terlebih dahulu apa sebenarnya program MBG itu. Program Makanan Bergizi Gratis merupakan salah satu strategi unggulan dari Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2024–2029, Bapak Prabowo Subianto dan Bapak Gibran Rakabuming Raka. Program ini diluncurkan sebagai bentuk dukungan terhadap salah satu dari delapan misi besar Asta Cita, yaitu memperkuat pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Tujuan utama dari program ini adalah untuk mengurangi angka malnutrisi dan stunting. dua permasalahan kesehatan yang hingga kini masih menjadi tantangan serius di Indonesia. Sasaran utama program MBG adalah kelompok rentan, yang meliputi balita, anak-anak usia sekolah, ibu hamil, dan ibu menyusui.
Dengan hadirnya program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas oleh Bapak Prabowo, terdapat konsekuensi yang tidak bisa diabaikan, khususnya dalam sektor pendidikan. Pemerintah diketahui memangkas anggaran pendidikan sebesar Rp7,25 triliun untuk dialokasikan ke program MBG. Langkah ini secara tidak langsung menunjukkan adanya prioritas yang lebih condong pada pemenuhan kebutuhan perut ketimbang pembangunan intelektual melalui pendidikan.Perlu ditegaskan, kami bukan menolak program yang telah menjadi andalan saat kampanye lalu. Memberikan akses makanan bergizi bagi anak-anak memang penting, terutama dalam konteks pengentasan stunting dan malnutrisi. Namun, alangkah lebih bijaknya jika pendidikan tetap dijadikan prioritas utama. Sebab, kemajuan bangsa tidak hanya ditentukan oleh asupan gizi, tetapi juga oleh kualitas pendidikan yang membentuk karakter, kemampuan berpikir, dan daya saing generasi penerus.
Di tengah belum meratanya pelaksanaan program Makanan Bergizi Gratis (MBG), muncul permasalahan yang menghebohkan Nusantara. Kasus dugaan penyelewengan dana program MBG mencuat dan menodai tujuan mulia dari program tersebut. Kejadian ini bermula dari Ira Mesra, selaku pihak pengelola lapangan di dapur (MBG) kawasan Kalibata, Jakarta Selatan. Ia mengaku telah mendistribusikan sebanyak 60.000 porsi makanan, namun hingga kini belum menerima pembayaran sepeser pun. Ironisnya, Yayasan MBN sebagai pihak yang bertanggung jawab atas distribusi anggaran justru diketahui telah mencairkan dana sebesar Rp386,5 juta dari Badan Gizi Nasional (BGN) untuk keperluan operasional program MBG. Namun, dana tersebut tidak pernah diterima oleh pengelola lapangan. Lebih mengejutkan lagi, ketika pihak pengelola mencoba menagih hak mereka, mereka justru dihadapkan pada tagihan senilai lebih dari Rp 45 juta yang disebut sebagai tunggakan pembelian barang. Tuduhan tersebut langsung dibantah oleh pihak pengelola lapangan, yang merasa dirugikan dan tidak pernah melakukan transaksi seperti yang dituduhkan.
Adanya dugaan korupsi dalam pengelolaan dana program Makanan Bergizi Gratis (MBG) tentu menimbulkan kekecewaan di tengah masyarakat. Bukan hanya karena dana yang semestinya dialokasikan untuk sektor pendidikan justru raib digondol para oknum tak bertanggung jawab, tetapi juga karena dampak lanjutan yang turut dirasakan, seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap banyak pekerja akibat pergeseran anggaran ke program MBG. Di sisi lain, masyarakat juga mulai mempertanyakan efektivitas program ini. Jangan sampai masyarakat terlena hanya karena anak-anak mereka mendapatkan makanan bergizi gratis di siang hari, sementara kebutuhan nutrisi di pagi, sore, dan malam justru tidak terpenuhi. Apalagi, sebagian besar orang tua penerima manfaat berasal dari keluarga penerima bantuan sosial melalui Program Keluarga Harapan (PKH), yang kehidupannya sangat bergantung pada bantuan pemerintah. Kondisi ini berpotensi menimbulkan masalah sosial baru di tahun 2025 jika tidak ditangani secara bijak dan menyeluruh. Oleh karena itu, diperlukan solusi berkelanjutan dan sistem pengawasan yang ketat untuk memastikan bahwa program MBG benar-benar memberikan dampak positif,
Meskipun kebijakan Makanan Bergizi Gratis (MBG) masih menghadapi berbagai tantangan dalam implementasinya, kita tidak boleh menutup mata terhadap semangat dan niat baik yang melatarbelakanginya. Program ini mencerminkan kepedulian negara terhadap masa depan generasi penerus bangsa. sebuah langkah konkret yang layak mendapat apresiasi.MBG bukan sekadar soal membagikan makanan, melainkan simbol harapan dan komitmen untuk menciptakan kesetaraan peluang bagi seluruh anak-anak Indonesia, tanpa memandang latar belakang sosial dan ekonomi mereka. Namun demikian, agar dampaknya benar-benar optimal, program ini perlu terus disempurnakan. Dinamika lokal yang beragam serta masukan dari berbagai pihak terutama mereka yang berada di garis depan pelaksanaan harus menjadi pertimbangan utama dalam pengembangan dan evaluasi kebijakan. Keberhasilan MBG tidak bisa semata-mata diukur dari kuantitas makanan yang disalurkan, tetapi harus dilihat dari dampak jangka panjangnya, apakah anak-anak tumbuh lebih sehat, lebih kuat, dan memiliki akses yang lebih luas untuk meraih masa depan yang lebih baik.
Jika dieksekusi dengan tepat dan berkelanjutan, program Makanan Bergizi Gratis (MBG) berpotensi menjadi tonggak penting dalam membangun sumber daya manusia Indonesia yang unggul. Namun, tanggung jawab besar kini berada di tangan kita semua untuk terus mengawal, mengkritisi, dan memberikan masukan konstruktif agar niat baik ini benar-benar membawa perubahan nyata. Pemerintah juga perlu lebih selektif dalam memilih dan menetapkan pihak-pihak yang terlibat dalam pendistribusian program MBG, guna mencegah terulangnya kasus-kasus korupsi yang mencoreng tujuan program itu sendiri. Integritas dan transparansi harus menjadi syarat mutlak dalam pelaksanaan di lapangan. Meski begitu, perlu dipahami bahwa program ini sejatinya merupakan bentuk dukungan terhadap upaya yang lebih besar, yakni mempersiapkan generasi emas bangsa. Maka dari itu, MBG tidak boleh dijadikan sebagai prioritas tunggal dalam pembangunan sumber daya manusia. Pendidikan tetap harus menjadi prioritas utama sebagai fondasi yang menentukan masa depan anak-anak Indonesia. Program MBG sebaiknya diposisikan sebagai pelengkap yang memperkuat keberhasilan pendidikan, bukan sebagai pengganti peran sentral pendidikan itu sendiri. Hanya dengan sinergi yang tepat antara keduanya, cita-cita mencetak generasi yang sehat, cerdas, dan berdaya saing tinggi dapat benar-benar terwujud.
Penulis : Ahmad Salman Hamidi (Mahasiswa UNUJA) – Peserta Lomba Literasi
Leave a Reply