berjutapena.or.id,- Dalam Islam, tujuan manusia diciptakan bukan sekedar hidup lalu mati. Ada tujuan yang lebih besar di balik penciptaan manusia sekaligus penciptaan alam semesta sebagai tempat bernaungnya umat manusia. Tujuan besar ini dikenal sebagai amanah yang mulia: menjadi khalifah Allah di bumi. Sebagaimana yang termaktub dalam surah Al-Baqarah ayat 20, manusia ditunjuk langsung oleh Allah sebagai pengganti, pengelola, serta penjaga bumi. Sebuah amanah yang tidak dimandatkan pada malaikat, jin, ataupun benda mati, tetapi pada makhluk bernyawa yang diberi akal dan nurani: manusia.
Kata khalifah berasal dari bahasa arab yang berarti pengganti. Makna pengganti dari kata khalifah menegaskan bahwa ia adalah amanah yang diemban dan dipikul oleh seluruh umat manusia dari generasi ke generasi. Kini, tongkat estafet itu telah berpindah tangan dan sampai pada tangan para pemuda zaman ini. Tanpa perlu kesepakatan, Gen Z–sebutan bagi para pemuda zaman ini– mengemban amanah itu sejak ruh ditiupkan dalam jasad. Namun, berbeda dengan beban yang ditanggung oleh pemuda generasi sebelumnya. Gen Z hidup dalam pusaran zaman yang luar biasa kompleks, era di mana batas ruang dan waktu hampir lenyap, dan arus informasi mengalir deras dari segala penjuru.
Derasnya arus informasi justru membanjiri kita dengan problematika yang belum pernah ada sebelumnya: hoaks, krisis identitas, deepfake, hingga persaingan global yang tak berbatas. Fenomena ini menggambarkan paradoks zaman: semakin mudah akses informasi, semakin rumit pula masalah yang timbul. Seperti ombak di lautan, setiap persoalan yang datang beruntun, menuntut penyelesaian secepat kilat. Saat informasi mampu menembus jarak antar negara dan benua, masyarakat membutuhkan akses jawaban secepatnya. Kita tidak bisa lagi menunda jawaban atau fatwa atas persoalan yang berkembang di masyarakat seperti yang dilakukan oleh Imam Malik dahulu. Di sinilah AI kerap dianggap sebagai “penyelamat”–alat yang mampu memangkas waktu dan tenaga dalam analisis data, prediksi krisis, bahkan pengambilan keputusan.
AI dengan kemampuannya mengolah data supercepat, mengenali pola, hingga membuat prediksi, seolah menjanjikan solusi instan atas berbagai problem manusia. Dengan algoritma yang dimilikinya, AI bisa membantu mahasiswa untuk melaksanakan riset dan penulisan tugas; membantu perusahaan untuk merancang strategi pemasaran; serta membantu masyarakat dalam akses sistem administrasi dan keamanan. Semakin hari, ketergantungan terhadap AI justru bertambah. Hingga di titik ini, lahir pertanyaan di benak kita: dalam pusaran zaman yang semakin kompleks, bisakah pemuda mengalihkan tugas khalifah ini kepada kecerdasan buatan (AI)?
Untuk menjawab ini, kita perlu mengetahui apa saja tugas khalifah allah di bumi. Dikutip dari laman pwmjateng.com, Alvin menyampaikan bahwa terdapat tiga tujuan mulia manusia diciptakan di muka bumi ini, yaitu sebagai hamba allah yang taat beribadah, mengelola bumi, dan menjadi khalifah yang adil. Tiga tugas ini tertuang dalam konsep ibadah, isti’mar, dan istikhlaf.
Ibadah merupakan tugas pokok bagi manusia. Allah menegaskan hal ini dalam surah Adz-Dzariyat ayat 56, “Dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah padaku.” Ibadah berarti penghambaan dan kesadaran penuh untuk melaksanakan perintah serta menjauhi larangannya. Untuk melaksanakan ibadah dengan sempurna, manusia diharuskan mengimani dan mempercayai Tuhan dan agama yang dianutnya. Iman diibaratkan sebagai kartu identitas pegawai sebelum mereka melaksanakan tugas-tugasnya, yang tanpa hal itu, tugas yang dikerjakan tidak terhitung dan tidak sah untuk mendapatkan honor.
Sementara isti’mar merupakan tugas khalifah yang berkenaan langsung dengan pengelolaan sumber daya bumi. Manusia diharuskan untuk mengerahkan segala daya dan upayanya untuk mengelola sumber daya bumi dengan optimal. Disamping ia dituntut untuk menggunakannya dengan bijak dan penuh tanggung jawab. Landasan tugas ini adalah firman Allah dalam surah Hud ayat 61, “…Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pengelolanya”. Demi mencapai hasil yang optimal, manusia membutuhkan kemampuan berpikir dan wawasan yang luas dalam mengambil segala keputusan berkenaan dengan pengelolaan alam.
Adapun tugas ketiga mengharuskan manusia untuk menjadi pemimpin yang berkeadilan dan berhasil dalam menciptakan kemanan dan kesejahteraan bagi penduduknya. Istikhlaf berarti menegakkan nilai-nilai ilahiyah (keadilan, kemanan, dan kasih sayang) di muka bumi. Salah satu dalil tugas ketiga ini adalah firman Allah dalam surah Sad ayat 26, “Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah (penguasa) di bumi. Maka, berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan hak dan janganlah mengikuti hawa nafsu karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah.”
Dalam konteks AI, AI mungkin unggul dalam aspek Isti’mar, karena algoritma yang dimilikinya mampu menganalisis, menghitung, dan memberikan keputusan lebih cepat dari manusia. Namun, ia tidak memenuhi minimum system requirements untuk melaksanakan dua tugas khalifah lainnya. Untuk melaksanakan ibadah dan tunduk pada aturan-aturan-Nya, dibutuhkan kesadaran transedental pada diri hamba, sementara AI tidak memiliki hal itu. AI juga tidak bisa menggantikan manusia dalam memimpin do’a, bertafakkur, ataupun melakukan bimbingan spiritual. AI juga tidak memiliki kesadaran diri (self awareness) untuk mengenal dan mengimani Tuhan. Padahal, iman adalah syarat utama manusia untuk menunaikan tugas-tugasnya sebagai khalifah fil ardh.
Di samping itu, AI juga tidak bisa menjalankan tugas istikhlaf secara optimal. Dalam menjadi pemimpin, dibutuhkan kebijaksanaan untuk memberikan putusan yang seusai dengan kebutuhan masyarakat. Putusan tersebut juga harus lahir dari pertimbangan maslahat dan mafsadat yang diperoleh dari proses ijtihad. Sementara AI tidak bisa memenuhi kualifikasi standar untuk menjadi mujtahid lantaran tidak memiliki hikmah (kebijaksanaan) yang didapat dari laku spiritual. Keteladanan moral (uswah hasanah) yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin juga tidak bisa dipenuhi oleh AI.
Pada titik ini, AI hanya bisa menggantikan sebagian tugas khalifah yang dibebankan pada manusia. Kemampuannya terbatas pada penghitungan lebih cepat analisis yang lebih cermat. Kealpaan akal budi dan nurani menyebabkan AI tidak bisa tunduk pada wahyu. Karena keterbatasan yang dimilikinya, membebankan tugas kekhalifahan pada AI tidak bisa kita lakukan. Bukankah ada hadis yang berbunyi, “Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya”. Tentu, kita tidak ingin kehancuran bumi dipercepat lantaran tugas pengelolannya diserahkan pada kecerdasan buatan.
Namun demikian, bukan berarti kita harus menjadi pemuda yang menolak total teknologi, termasuk AI. Kompleksitas zaman yang menuntut solusi cepat, mau tidak mau harus kita hadapi. Terjebak pada logika problem solving para ulama’ terdahulu juga bukan pilihan yang tepat. Kita tetap bisa memanfaatkan AI dengan menjadikan mereka mitra kita dalam menunaikan tugas-tugas khalifah di bumi. AI adalah ciptaan manusia, sedangkan manusia adalah ciptaan Allah. Mustahil makhluk tingkat dua (AI) bisa menggantikan manusia tingkat satu (manusia) dalam menjalankan amanah langit.
Penulis : Achmad Ma’aly Hikam Mastury (Mahasantri Ma’had Aly Situbondo) – Peserta Lomba Literasi
Leave a Reply