Teknologi Melesat, Moral Remaja Tersesat – Siapa yang Bertanggung Jawab?”

berjutapena.or.id, – Selamat datang di era digital, di mana seluruh informasi dapat diakses tanpa batas ruang dan waktu. Era digital tak bisa lepas dari perkembangan teknologi, karena dengan teknologi inilah manusia dapat mengakses apa saja yang mereka mau, berkomunikasi, transaksi, melihat keadaan di belahan benua sana, atau bahkan memperhatikan keadaan angkasa. Namun di balik semua kemudahan itu, ada ancaman besar yang tak kalah serius: menurunnya moralitas, terutama pada kalangan remaja.

We Are Social (2024) mengatakan bahwa rata rata pengguna internet di Indonesia mencapai 7 jam 24 menit perhari, dengan remaja sebagai pengguna terbesar. Artinya media sosial dan internet saat ini menjadi kebutuhan utama. Jika kita lempar diri kita pada masa 80an, kita hidup diantara jutaan kertas, mengais informasi melalui ribuan halaman. Namun, sekarang nyaris kertas tak lagi dibutuhkan. Melalui teknologi canggih bernama smartphone sudah dapat bertransaksi, berkomunikasi, dan mendapatkan informasi.

Canggihnya media sosial dapat merekam seluruh kejadian, peristiwa, dan kenangan melebihi daya ingat  manusia. Apalagi jika media ini berkolab dengan sahabatnya, Artificial intelligence (AI) dengan kecanggihannya mengalahkan kecerdasan manusia, hanya dengan menekan keyboard hp, tak tunggu 1 menit pun ia akan menjawabnya dengan cepat. Sehingga tak jarang banyak siswa saat ini, ketika ada tugas tinggal copy, paste dan seterusnya. Menyebabkan otak mereka tumpul, wawasan mereka pendek, dan mudah digoyahkan. Lebih jauhnya lagi menyebabkan  menurunnya moralitas mereka sebagai seorang terpelajar.

Lalu bagaimana dengan remaja? Sikapnya masih sering berubah-ubah.  Kadang bersikap seperti anak-anak, tapi dituntut untuk bersikap layaknya orang dewasa. Remaja adalah masa dimana mereka mencari jati diri mereka sebenarnya. Dari sudut pandang psikologi perkembangan, Erik Erikson (1950) menjelaskan bahwa remaja berada dalam tahap pencarian identitas (identity vs. role confusion). Dalam lingkungan digital yang penuh distraksi, mereka rentan mengalami kebingungan identitas akibat paparan konten negatif. Teori social learning dari Albert Bandura (1977) juga menegaskan bahwa individu belajar dari lingkungan sekitar, termasuk media sosial. Jika remaja terus-menerus terpapar konten yang tidak mendidik, perilaku mereka akan terbentuk sesuai dengan apa yang mereka lihat. Riset dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) mengungkap bahwa penggunaan media sosial yang tidak terkontrol berdampak pada menurunnya empati sosial dan meningkatnya perilaku individualistis di kalangan remaja. Jika konflik ini tak terkendalikan, akan mengarah pada kenakalan remaja dan degradasi moral remaja, yang ditandai dengan perilaku negatif. Seperti kecanduan gadget, kurangnya sopan santun, menurunnya etika komunikasi, hingga perilaku menyimpang seperti perundungan siber (cyber bullying) dan penyebaran hoax. Mereka akan melampiaskan emosinya pada alat canggih tak terukur, media sosial. Tak berpikir panjang dengan akibatnya, jari-jari mereka menari-nari di atas layar tipis kesukaannya. Berdansa dengan platform judi online, transaksi jual-beli narkoba, mengakses konten eksplisit dan perilaku yang menyimpang.

Studi dari UNICEF juga menunjukkan bahwa sekitar 45% remaja di Indonesia pernah mengalami atau melakukan cyberbullying. Dalam website tirto.id menjelaskan bahwa angka bullying di Indonesia semakin tahun semakin meningkat. Tahun 2020, tercatat sebanyak 91 kasus. Naik ke tahun 2024 tercatat kasus tiga kali lipat dari tiga tahun sebelumnya. Ironis bukan? Angka yang terbilang signifikan. Hal yang tak boleh disepelekan begitu saja. Akan memiliki pengaruh luar biasa pada generasi selanjutnya, atau jangan-jangan akan menjelma menjadi kebiasaan baru bagi para remaja. Tahu, kenapa angka bullying semakin meningkat? Jawabannya adalah pengaruh media sosial yang tak pernah memiliki tatanan peraturan. Remaja semakin dapat melampiaskan rasa amarahnya pada teman sebayanya. Meniru apa saja yang ditontonnya. Berkata-kata dan bertindak kasar menjadi senjata mereka untuk menjatuhkan siapa saja.

Tentu fenomena ini tak akan pernah lepas dari peran orang tua. Penyebab mereka melakukan semuanya, mungkin kurangnya perhatian dari orangtua. Orang tua sebaiknya memberikan contoh yang baik dalam bermedia sosial, membatasi mereka dalam penggunaan media sosial, memperhatikan apa saja yang diakses oleh anaknya, dan mengedukasikan tentang dampak menggunakan media sosial secara berlebihan. Lingkungan keluarga merupakan faktor penting dalam tumbuh bekrembangnya seorang anak, sehingga pendidikan moral anak dalam lingkungan keluarga harus diperhatikan, karena memiliki pengaruh yang sangat besar.

Tak cukup sampai dalam lingkungan keluarga, lingkungan terdekat selanjutnya bagi mereka adalah sekolah. Bagaimana tidak? Dalam setengah hari kehidupan mereka berada dalam detik jarum jam sekolah. Berdenyut bersama teman sebaya mereka, bermain, dan berdiskusi.  Disinilah, peran guru dalam mendidik moral para remaja. Namun apalah daya, kurikulum merdeka tak sesuai dengan namanya, malah menjajah guru dengan setumpuk administrasi. Bahkan, banyak dari para guru, tak sempat memperhatikan siswa siswi didikan mereka. Tawuran, bullying, bahkan miras narkoba yang biasanya dilakukan di sekitar sekolah. Lalu dimana peran guru jika seperti ini?

Tantangan ini tak hanya dibebankan pada  orang tua dan guru, masyarakat dan pemerintah harus berperan andil dalam fenomena degradasi moralitas remaja saat ini. Era digital memang mendatangkan tantangan yang besar, tetapi dalam bimbingan yang tepat, moralitas remaja akan dapat terjaga. Solusi tepat untuk mengatasi mengatasi degradasi remaja :

  1. Pendidikan Karakter di Sekolah dan Keluarga.
    • Guru dan keluarga harus berperan aktif dalam pendidikan moralitas remaja dan diskusi positif melalui diskusi terbuka.
    • Kurikulum Pendidikan juga perlu menyesuaikan dengan tantangan era digital.
  1. Penguatan Regulasi Digital Pemerintah.
    • Pemerintah dan platform media sosial harus bekerja sama dalam mengontrol konten negatif dan mengedukasikan tentang literasi digital serta etika berinternet.
  1. Meningkatkan Kesadaran Diri Remaja.
    • Remaja perlu diberi paham tentang penggunaan internet dan dampaknya jika digunakan berlebihan serta etika berinternet.
    • Remaja dapat diarahkan untuk menggunakan internet dan media sosial sebagai teknologi yang bermanfaat. Seperti sarana belajar, berjejaring, atau berkarya.
  1. Menciptakan Lingkungan Sportif
    • Masyarakat perlu mengadakan kegiatan positif yang bermanfaat bagi remaja. seperti olahraga, seni, literasi dan volunter. Serta melakukan pengawasan secara bijak.
    • Tokoh masyarakat seharusnya memberikan contoh yang baik serta memberikan nasihat dan bimbingan moral melalui kegiatan komunitas.

Degradasi moral remaja di era digital merupakan permasalah yang kompleks dan membutuhkan penanganan secara menyeluruh. Bukan hanya menjadi tanggung jawab orang tua dan guru, tapi menuntut partisipasi aktif dari masyarakat, pemerintah, dan platform digital itu sendiri. Dengan penguatan pendidikan karakter, regulasi digital, dan lingkungan yang sportive dapat menjaga moralitas remaja yang semakin merosot. Era digital dengan teknologi yang canggih seharusnya menjadikan generasi yang  bermoral tinggi, kritis dan bijak dalam memanfaatkan zaman, bukan malah tersesat dalam krisis identitas. Dengan adanya sinergi dari berbagai pihak, seharusnya degradasi moral bukanlah keniscayaan melainkan hal yang bisa kita atasi bersama.

Penulis : Fina Isyatur Radliyah (Q-Blat bondowoso) – Peserta Lomba Literasi

Redaksi Berjutapena
Dikelola oleh Lembaga Pers, Penerbitan, dan Infokom PC IPNU IPPNU Situbondo