berjutapena.or.id,- Filsafat hukum adalah cabang dari filsafat yang mengkaji secara mendalam hakikat, struktur, dan tujuan hukum. Tidak seperti ilmu hukum positif yang lebih menitikberatkan pada penerapan aturan tertulis yang bersifat praktis, filsafat hukum justru menyoroti aspek-aspek fundamental, seperti apa sebenarnya makna hukum, alasan keberadaannya, serta bagaimana hukum seharusnya ditegakkan agar mencerminkan keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam hal ini, filsafat hukum mengajukan pertanyaan-pertanyaan normatif dan filosofis yang melampaui sekadar legalitas formal, dengan mempertimbangkan juga legitimasi dan dimensi moral dari hukum itu sendiri.
Sebagai bagian dari filsafat, filsafat hukum mengelompokkan objek kajiannya ke dalam tiga dimensi utama. Pertama, aspek ontologi hukum berkaitan dengan pertanyaan tentang hakikat atau keberadaan hukum itu sendiri. Dalam hal ini, filsafat hukum berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti: “Apa yang dimaksud dengan hukum?”, “Apakah hukum berasal dari kehendak ilahi, akal budi manusia, atau kekuasaan otoritatif?”, dan “Apakah hukum bersifat statis atau senantiasa berubah mengikuti perkembangan masyarakat?” Pandangan klasik seperti teori hukum alam (natural law) meyakini bahwa hukum berakar pada rasio dan prinsip moral yang universal, sedangkan aliran positivisme hukum beranggapan bahwa hukum adalah hasil dari keputusan otoritas yang sah dan tidak selalu harus dikaitkan dengan nilai-nilai moral.
Kedua, epistemologi hukum membahas bagaimana manusia memperoleh pengetahuan tentang hukum dan memahaminya. Fokus utama dari aspek ini adalah masalah metodologis, yaitu bagaimana suatu aturan hukum dipahami, ditafsirkan, dan diterapkan dalam konteks nyata. Dalam praktiknya, epistemologi hukum mengkaji sejauh mana hukum tertulis dapat diberlakukan secara objektif serta bagaimana faktor-faktor seperti penafsiran, budaya, dan ideologi memengaruhi pemahaman terhadap norma hukum. Tokoh seperti Ronald Dworkin mengkritik pandangan positivisme hukum karena dianggap terlalu fokus pada aspek formal dan prosedural, lalu menawarkan pendekatan alternatif yang menekankan pentingnya nilai moral dalam proses penafsiran hukum.
Ketiga, aksiologi hukum mengkaji nilai-nilai fundamental yang mendasari dan menjadi tujuan dari keberadaan hukum, seperti keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Menurut Gustav Radbruch, ketiga nilai tersebut merupakan landasan utama yang harus dijadikan acuan dalam setiap sistem hukum. Ia berpendapat bahwa hukum yang secara formal sah, namun tidak mencerminkan keadilan, dapat kehilangan legitimasi moralnya sebagai hukum yang layak ditaati. Oleh karena itu, hukum tidak cukup hanya memenuhi aspek legalitas, tetapi juga harus membawa keadilan dan memberikan manfaat nyata bagi kehidupan masyarakat.
Pemahaman yang menyeluruh mengenai filsafat hukum oleh para penegak hukum, aktivis hukum, maupun masyarakat secara umum, akan memberikan kontribusi positif terhadap kemajuan hukum di Indonesia, baik dalam ranah teoritis maupun dalam praktik pelaksanaannya. Dengan memahami filsafat hukum secara mendalam, akan tumbuh kesadaran bahwa hukum bukan sekadar persoalan prosedural seperti ketukan palu hakim atau persetujuan mayoritas di lembaga legislatif, melainkan berkaitan erat dengan esensi keadilan itu sendiri.
Dalam konteks ini, ketika otoritas negara secara resmi mengesahkan berbagai peraturan, masyarakat tetap memiliki hak untuk melakukan penilaian kritis terhadap kebijakan tersebut. Di sinilah letak peran penting filsafat hukum, sebagai alat analisis yang mampu menelaah lebih jauh berbagai aspek dari aturan yang disahkan. Filsafat hukum memungkinkan diajukannya berbagai pertanyaan fundamental, seperti: apakah peraturan tersebut membawa manfaat nyata, sejauh mana aturan tersebut mencerminkan keadilan, apakah masyarakat benar-benar membutuhkan regulasi tersebut, dan apakah peraturan itu telah mencerminkan nilai-nilai hukum yang luhur. Melalui refleksi-refleksi tersebut, filsafat hukum membantu menilai apakah suatu produk hukum telah memenuhi cita-cita hukum yang berkeadilan di negeri ini.
Mengacu pada pandangan Mahfud MD, filsafat hukum dipahami sebagai cabang filsafat yang secara khusus membahas hakikat hukum, tujuan yang ingin dicapai oleh hukum, nilai-nilai keadilan, serta hubungan hukum dengan norma-norma sosial lainnya. Ia menempatkan filsafat hukum sebagai landasan yang sangat penting dalam proses perumusan, penerapan, dan penafsiran hukum di dalam kehidupan masyarakat. Dalam salah satu karyanya, Mahfud MD menekankan bahwa hukum tidak boleh dipahami hanya sebagai sekumpulan aturan tertulis, melainkan harus dilihat sebagai alat untuk mewujudkan keadilan, menjaga ketertiban, dan mendukung terciptanya kesejahteraan umum.
Satjipto Rahardjo memaknai filsafat hukum sebagai suatu refleksi kritis terhadap hukum yang bertujuan untuk menggali makna serta nilai-nilai keadilan yang terkandung di balik teks-teks hukum. Ia dikenal dengan gagasan “hukum progresif,” yang menegaskan bahwa hukum harus mampu berkembang sesuai dengan perubahan kebutuhan keadilan dalam masyarakat, bukan hanya sekadar menerapkan undang-undang secara kaku. Menurut Satjipto, filsafat hukum menekankan bahwa hukum bersifat dinamis dan harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan sosial, serta tugas para filsuf hukum adalah memastikan hukum tetap bersifat humanis dan fleksibel.
Peraturan pemerintah seharusnya mampu menciptakan rasa aman bagi seluruh lapisan masyarakat tanpa membedakan status atau golongan, sehingga semua orang diperlakukan secara adil dan setara. Sifat humanis dan fleksibilitas inilah yang harus menjadi prinsip utama dalam setiap kebijakan hukum yang dirancang oleh pemerintah. Agar cita-cita hukum yang berkeadilan dapat terwujud dan terus berkembang, partisipasi aktif dari masyarakat secara bermakna menjadi faktor penting dalam memperbaiki dan membangun sistem hukum yang adil di masa depan.
Tujuan utama filsafat dalam mewujudkan hukum yang adil adalah memastikan bahwa hukum tidak hanya berperan sebagai pengatur semata, tetapi juga berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan yang sesungguhnya. Melalui filsafat, pemahaman yang lebih dalam tentang konsep keadilan dapat diperoleh, sehingga hukum yang diberlakukan tidak hanya berfokus pada aspek legalistik, melainkan juga mampu memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Dengan pendekatan filosofis, hukum diarahkan untuk selalu mendukung prinsip kebenaran, kesetaraan, dan penghormatan terhadap martabat manusia, bukan hanya sekadar mengikuti aturan tertulis atau prosedur formal yang ada.
Cita-cita hukum dalam mewujudkan keadilan yang proporsional didasarkan pada prinsip bahwa setiap individu harus diperlakukan sesuai dengan hak, kewajiban, dan statusnya masing-masing. Keadilan proporsional bukan berarti memperlakukan semua orang secara sama persis, melainkan menyesuaikan perlakuan berdasarkan kontribusi, kebutuhan, atau kondisi tiap individu. Konsep ini sudah dikenal sejak masa Aristoteles, yang membedakan antara keadilan distributif (memberikan sesuai dengan kebutuhan atau jasa) dan keadilan retributif (memberikan hukuman atau penghargaan sesuai dengan perbuatan). Dalam konteks hukum modern, cita-cita ini bertujuan menciptakan sistem hukum yang adil dan sesuai dengan keberagaman kondisi sosial masyarakat.
Lebih dari itu, keadilan proporsional juga melibatkan upaya memberikan perlindungan hukum kepada kelompok-kelompok yang lemah atau rentan dalam masyarakat.
Hukum tidak boleh bersikap netral secara membabi buta ketika terdapat ketidaksetaraan sosial yang nyata. Sebaliknya, hukum harus mampu mengambil sikap berpihak guna menjamin kesempatan yang setara bagi seluruh warga. Contohnya, pemberian perlindungan khusus bagi anak-anak, perempuan korban kekerasan, atau masyarakat adat merupakan bentuk nyata dari keadilan proporsional yang mempertimbangkan kebutuhan khusus mereka dalam mendapatkan perlakuan yang adil.
Cita-cita keadilan proporsional mencerminkan upaya manusia untuk membangun tatanan masyarakat yang beradab dan harmonis. Melalui penerapan prinsip ini, hukum tidak hanya berperan menjaga ketertiban, tetapi juga menjadi kekuatan etis yang memperkuat solidaritas sosial. Keadilan proporsional menghargai perbedaan, mengakui keberagaman, dan menempatkan manusia sebagai inti dari setiap proses hukum. Ini merupakan gambaran ideal dari tujuan hukum dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam hal ini, filsafat hukum berperan penting dengan memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai makna dan arah hukum. Ia menjauhkan cara pandang yang semata-mata legalistik dan mendorong lahirnya sistem hukum yang tidak hanya efektif secara prosedural, tetapi juga memiliki legitimasi moral. Berbekal perspektif filsafat hukum, sistem hukum dapat terus dievaluasi, disempurnakan, dan dikembangkan agar mampu mewujudkan masyarakat yang lebih adil, manusiawi, dan berkeadaban.
Penulis : Mohammad Haris Taufiqur Rahman, S.H., M.H. (Koordintor AISNU Bondowoso, Editor In Chief Lex Economica Journal & Akademisi Hukum Universitas Bondowoso)
Leave a Reply