berjutapena.or.id – Setiap 2 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Batik Nasional. Peringatan ini bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan momentum merefleksikan identitas bangsa yang berakar kuat pada budaya. Batik, dengan corak dan motifnya yang sarat makna, tidak sekadar pakaian, melainkan teks budaya yang menarasikan kearifan lokal, filosofi hidup, dan peradaban Nusantara.
Lalu, apakah menjadikan batik sebagai simbol nasionalisme akan menegasikan nilai agama?
Dalam perspektif Islam, jawabannya tegas: tidak. Syariat justru mengakui eksistensi budaya selama tidak bertentangan dengan prinsip agama. Kaidah ushul fiqh menegaskan, “العادة محكمة” (al-‘adah muhakkamah – adat dapat dijadikan landasan hukum). Imam al-Syatibi dalam al-Muwafaqat juga menekankan bahwa syariat hadir demi kemaslahatan umat—melindungi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Tradisi batik yang mengajarkan harmoni, kesopanan, serta identitas bangsa jelas termasuk dalam al-‘adah al-mu’tabarah (adat yang diakui syara’).
Bagi santri yang mendalami ushul fiqh, budaya justru bisa menjadi sarana dakwah sekaligus perekat persaudaraan kebangsaan. Saat batik dikenakan di ruang publik, ia bukan hanya simbol estetika, melainkan penguat ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan). Inilah dimensi maqasid syariah pada aspek hifzh al-‘irdh (menjaga martabat). Batik menjaga martabat bangsa di hadapan dunia tanpa mereduksi nilai keislaman.
KH. Hasyim Asy’ari dalam Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah menegaskan bahwa nasionalisme tidak bertentangan dengan agama. Bahkan, kecintaan pada tanah air (hubbul wathan minal iman) adalah bagian dari iman. Pemikiran ini merekatkan agama dengan kebangsaan: mencintai budaya, termasuk batik, adalah pengamalan iman yang kontekstual.
Presiden Soekarno pun pernah berujar, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai budayanya sendiri.” Jika ditarik dalam logika ushul fiqh, pernyataan itu sejalan dengan konsep al-maslahah al-mursalah—yakni menerima sesuatu yang membawa manfaat bagi masyarakat luas meski tidak disebut eksplisit dalam nash. Mengangkat batik sebagai identitas nasional adalah bentuk maslahah mursalah yang memperkuat harga diri bangsa sekaligus menumbuhkan persatuan.
Dengan demikian, Hari Batik tak boleh dipahami sekadar rutinitas memakai busana tradisi. Ia adalah refleksi bahwa nasionalisme bisa berjalan seiring religiusitas. Bagi santri, mengenakan batik pada Hari Batik Nasional adalah pernyataan identitas ganda: menjaga warisan bangsa sekaligus meneguhkan maqasid syariah dalam menjaga martabat dan persatuan umat.
Hari Batik pada akhirnya menjadi bukti nyata bahwa nasionalisme bukan ancaman bagi agama. Sebaliknya, ia adalah ruang perjumpaan di mana iman dan budaya berpadu, melahirkan harmoni demi kemaslahatan dan kejayaan bangsa.
Oleh: Wildan Miftahussurur
Leave a Reply