Pandangan Dua Tokoh Tentang Bulan Muharam

Sumber : Pexels.com
Sumber : Pexels.com

Berjutapena.or.id,- Bulan Muharam merupakan bulan yang menandakan bahwa telah memasuki tahun baru Hijriyah. Selain itu, Muharam juga tidak dikhususkan kepada umat Nabi Muhammad saja, melainkan juga untuk umat Nabi Isa as. Artinya, antara umat Nabi Muhammad dengan umat Nabi Isa memiliki kemiripan ketika memasuki bulan Muharam yakni, sama-sama berpuasa. Namun, dalam berpuasa kedua umat ini memiliki perbedaan.

Perbedaannya adalah bagi umat Nabi Isa, mereka berpuasa dari tanggal satu hingga sepuluh Muharam, sedangkan umat Nabi Muhammad menambah satu hari, jadi berjumlah sebelas hari. Penambahan hari bagi umat Nabi Muhammad tidak lain adalah untuk membedakannya dari kaum Yahudi.

Tulisan ini dimaksudkan untuk memaparkan pandangan tentang bulan Muharam menurut dua tokoh yakni, Imam Al-Ghazali dan seorang ahli psikolog Johann Friedrich Herbart.

Pandangan Johann Friedrich Herbart (1839) menegaskan bahwa setiap kesan yang diterima akan membentuk suatu kesadaran yang juga baru pada manusia. Tentunya merujuk pada teori ini, Muharam merupakan momen penting yang membawa kesan. Sehingga muncul kesadaran dalam dirinya.

Kesan pertama dari bulan Muharam tentu hadis-hadis yang menjelaskan keutamaan Muharam. Seperti hadis Nabi yang menjelaskan tentang puasa di bulan Muharam, sebagai berikut:

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ. (أخرجه مسلم من حديث أبي هريرة)

Artinya: “Paling utamanya puasa setelah bulan Ramadan adalah bulan Allah SWT, yakni Muharam” (HR. Muslim)

Dengan mengetahui keutamaan itu manusia akan timbul kesan-kesan atau kata lain ketertarikan terhadap objeknya, yakni bulan Muharam.

Pandangan Imam Al-Ghazali,
berhubung beliau seorang filsuf maka argumennya berupa logika yang mungkin juga berkaitan dengan psikologi manusia. Argumen ini masih berkaitan dengan hadis di atas. Beliau mengatakan, mengapa puasa bulan Muharam lebih utama daripada bulan Ramadan? Karena Muharam merupakan bulan permulaan tahun yang baru. Apabila awal tahun diawali dengan kebaikan maka ada keberkahan yang akan terus mengalir.

Dari argumen itu, jika dikontekstualkan bukan hanya melakukan puasa di bulan Muharam, melainkan juga bisa kebaikan-kebaikan lainnya. Seperti banyak bersedekah, menolong orang miskin, menyantuni anak yatim, dan lain-lain.
yang Dapat menimbulkan keberkahan secara terus-menerus.

Melihat argumen beliau, tentu Imam Ghazali memandang Muharam dari sudut pandang bentuknya yaitu, bulan pertama di tahun yang baru. Dari sinilah kemudian akan timbul kesan-kesan pada setiap manusia sebagaimana dinyatakan oleh Johann Friedrich Herbart di atas.

Dari dua pandangan itu, dapat kita bedakan. Herbart memandang Muharam dari sudut pandang substansialnya, sedangkan Imam Al-Ghazali memandang Muharam dari sudut pandang bentuknya, yaitu bulan pertama di awal tahun yang baru.

Selain dapat membedakan, saya sendiri berharap bahwa Muharam yang merupakan awal tahun baru dapat menyadarkan diri setiap manusia untuk berubah menjadi lebih baik dari tahun sebelumnya.

Demikian penjelasan tentang pandangan dua tokoh terhadap bulan Muharam. Keterangan di atas dapat dirujuk dalam kitab Ihya’ Ulumiddini. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.

 

Editor : Rekanita Lilik