berjutapena.or.id,- Dalam kalangan masyarakat, akhlak menjadi penentu bagi manusia apakah ia dipandang positif atau negatif. Dengan kata lain, jika seseorang berakhlak buruk maka penilaian masyarakat terhadap orang tersebut pasti akan buruk pula. Sebaliknya, jika seseorang berakhlak baik maka dapat dipastikan orang itu akan mendapat nilai baik pula di kalangan masyarakat. Itulah mengapa Nabi Muhammad saw., diutus untuk umat ini dengan spirit ‘menyempurnakan akhlak manusia’.
Perihal akhlak ini, dalam buku Kosakata Keagamaan (2020), M. Quraish Shihab mengartikan akhlak sebagai sesuatu yang cakupannya luas. Dengan kata lain, akhlak mencakup aktivitas yang berhubungan dengan Allah, sesama manusia, lingkungan dan diri sendiri. Selain itu, akhlak juga mencakup sikap, perilaku yang dilandaskan budaya atau adat dan juga mencakup moralitas yang dilandaskan pada ajaran agama Islam.
Salah satu yang menjadi objek sasaran akhlak adalah orang tua. Sebagai anak, kita harus berakhlak terhadap mereka. Tentu, yang dimaksud akhlak di sini adalah akhlak yang baik bukan akhlak yang buruk. Alasan paling logis mengapa kita harus berakhlak baik kepada mereka adalah karena orang tua, kita dilahirkan dan dibesarkan. Berakhlak baik kepada mereka merupakan tanda terima kasih terhadap orang tua.
Dengan perkembangan zaman saat ini, banyak ditemukan seorang anak berakhlak buruk kepada orang tuanya. Akhlak buruk itu bisa berupa perkataan yang jorok, tindakan yang menyakitkan orang tua, bahkan mirisnya ada anak yang tega menganiaya orang tuanya sendiri. Sekali lagi penulis tegaskan bahwa dengan alasan apapun seharusnya seorang anak tidak berakhlak buruk kepada orang tuanya.
Dilansir dari Kompas.Com, pada tahun lalu tepatnya masa-masa debat pilpres (4/2/2024), terjadi kasus penganiayaan seorang anak terhadap orang tuanya. Penganiayaan itu bermula ketika seorang anak dan orang tua selesai menonton debat pilpres di televisi. Pasalnya, orang tua menyuruh anaknya untuk tidur lantaran agar tidak telat pergi sekolah esok harinya. Namun, sang anak tidak berkenan dan melontarkan perkataan yang tidak menyenangkan kepada kedua orang tuanya. Lantaran perkataan sang anak itu, orang tuanya mengusir dari rumah dan membuat sang anak sangat marah hingga memukul kedua orang tuanya.
Kasus di atas merupakan bukti konkret bahwa akhlak seorang anak pada zaman sekarang ini sangat disayangkan sekali, bahkan sangat layak untuk ditangisi. Dengan demikian, sekurang-kurangnya penulis akan membahas dua poin. Pertama, hubungan erat antara akhlak dengan ilmu. Kedua, kesakralan kedua orang tua.
Hubungan Erat Antara Ilmu Dan Akhlak
Dalam buku Buat Apa beragama? (2020), Abdillah Toha membagi empat kelompok manusia perihal hubungan antara ilmu dan akhlak. Pertama, manusia yang berilmu dan berakhlak. Kedua, berilmu dan tidak berakhlak. Ketiga, tidak berilmu dan berakhlak. Keempat, tidak berilmu dan juga tidak berakhlak.
Dari pembagian itu, tentu yang paling baik adalah kelompok pertama. Dengan ilmunya ia akan diangkat derajatnya oleh Allah dan dengan akhlaknya ia akan dinilai baik oleh manusia lain. Justru yang paling berbahaya dari pembagian kelompok di atas bukan kelompok keempat, melainkan kelompok kedua. Karena, kelompok kedua ini sangat berpotensi besar untuk membuat kerusakan yang jauh lebih besar lagi daripada kelompok keempat.
Nominal korupsi bagi koruptor yang pandai akan jauh lebih besar daripada koruptor yang bodoh. Tokoh agama yang tidak berakhlak akan menjadi contoh buruk bagi pengikutnya. Cendekiawan yang tidak bermoral rela menyimpangkan ilmunya sesuai seleranya demi mendapat jabatan dari penguasa. Barangkali, itulah gambaran betapa eratnya hubungan antara ilmu dan akhlak serta dampak-dampak negatifnya.
Kesakralan Orang Tua Perspektif Alquran
Ketidaktahuan akan sesuatu, menjadi salah satu alasan seseorang melakukan suatu tindakan atau ucapan. Kalau boleh digambarkan semisal, Alifian sebagai siswa di sekolah SMA 2 Situbondo dijumpai merokok di jeding. Padahal, aturan sekolah siswa-siswi dilarang merokok di lingkungan sekolah. Setelah diintrogasi, ternyata alifian tidak tahu aturan tersebut. Berhubung sekarang sudah mengetahui, Alifian memahaminya dan tidak merokok lagi.
Hal ini sama dengan seorang anak yang tidak berakhlak terhadap orang tuanya. Dapat dipastikan ia tidak mengetahui dan memahami betapa sakralnya kedua orang tua. Sudah barang tentu akan rugi besar apabila seorang pelajar yang berilmu tetapi ia tidak berakhlak kepada kedua orang tuanya. Itulah mengapa penulis membahas betapa sakralnya kedudukan orang tua.
Di dalam Alquran surah Al-Isra’ ayat 23 Allah telah mengingatkan bahwa:
وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا
Artinya: “Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.”
Dalam surah Al-Luqman, ayat 14 Allah juga berfirman:
اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَۗ
Artinya: “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.”
Al-Imam al-Fakih Abi al-Laist dalam kitabnya Tanbihul Ghafilin (1998) menafsiri ayat tersebut bahwa ketika seorang anak bersyukur kepada Allah, tetapi tidak bersyukur kepada kedua orang tuanya maka bentuk syukurnya kepada Allah tidak akan diterima. Dengan kata lain, syukurnya seorang anak kepada Allah akan diterima kalau juga bersyukur kepada kedua orang tuanya.
Dua ayat di atas menjadi bukti konkret bahwa kedudukan orang tua memang sangat sakral, apapun dan di mana pun berada. Mengucapkan ‘ah’ saja tidak diperbolehkan apalagi membentak atau bahkan menganiaya orang tua. Percuma seorang anak bersyukur kepada Allah, tetapi tidak bersyukur kepada kedua orang tua.
Urgensi Akhlak Bagi Pelajar di Era Velocity
Kasus di muka yang telas penulis paparkan merupakan bentuk nyata dari zaman velocity (kompleksitas zaman). Zaman inilah yang mengubah akhlak semakin mengalami kemerosotan, termasuk akhlak kepada kedua orang tua. Namun, dengan merefresh Kembali pemahaman tentang kesakralan kedudukan orang tua dan pemahaman tentang hubungan antara ilmu dan akhlak, penulis yakin akan menjadi solusi terbaik dalam menjaga agar akhlak tidak terus-menerus mengalami kemerosotan. Tentu yang paling terpenting dari apa yang telah penulis sampaikan adalah bukan hanya memahaminya, melainkan juga dipraktikkan secara tulus bukan secara terpaksa. Dengan demikian, kalua sudah dipraktikkan secara tulus, saat itulah kita akan merasakan bahwa ternyata akhlak sangatlah urgen di zaman velocity saat ini.
Penulis : Ahmad Firman Ardiansyah (Mahasantri Ma’had Aly Situbondo) – Peserta Lomba Literasi
Leave a Reply