berjutapena.or.id,- Selepas acara ini usai ada sisa momentum masisiur yang masih iconic untuk dibicarakan. Berebut berjabat tangan dengan pak presiden.
Terus terang saja, pendapat pribadi saya memaklumi dalam menyikapi hal ini, dan melimitasi beberapa hal kecil sebagai kontruksi moral kita kedepannya. Jawaban ini didasarkan beberapa faktor historial dakwah islam dan hukum fikih siyasah.
Berjabatan tangan adalah bentuk penghormatan dalam adat kita. Sementara latar belakang baik buruknya seseorang adalah masalah lain.
Dalam Al Quran sekitar 20 ayat yang membicarakan seputar kemulian manusia secara umum, tanpa terkecuali dan tanpa pandang pemimpin Indonesia ke 8 atau tidak.
Dalam shohih bukhori begitu jelas, Bagaimana Nabi Muhammad saw. mencerminkan penghormatan kepada jenazah seorang yang yahudi (dari agama yang paling angkuh menentang islam, alquranred) dengan berdiri saat berpapasan dengannya. Lalu, beliau ditanya “bukankah itu, jenazah seorang yahudi ?” kemudian Nabi balik bertanya “bukankah ia juga manusia?”. Teramat jelas bahwa penghormatan kepada manusia, bukan dilandaskan pada status agama, sosial ataupun pangkat politik dan track recordnya. Selama dia manusia, ia layak untuk dihormati.
Dalam syarah Riyadus Sholihin, makna hadist “barang siapa yang tidak menghormati yang lebih tua, bukan termasuk dari kami” memiliki beberapa sisi tentang ke_tua_an itu sendiri. Dari sisi umur, ilmu, pangkat, kedudukan dst. Bukankah, ke_tua_an pak presiden kita, dibenarkan tidak hanya dari satu sisi saja.
Kemudian, banyak para ulama kita, seperti habib Umar bin hafidz, memperlakukan pemerintah, yang katanya, salah satu dari mereka adalah otak dibalik pembunuhan ayah habib umar, namun beliau memberlakukannya dengan santun dan tak membalas apa apa kecuali hanya meminta kabar, dimana jasad ayahnya dikubur.
Prinsip yang mengena bagi saya dalam kisah ini, adalah prinsip beliau. “Bukankah ia (oknum pemerintah) juga tergolong _al mad’u_ (kelompok yang sedang didakwahi.”
Namun, jika masalah berjabat tangan justru diklaim sebagai masalah ulama yang menjilat penguasa, saya tidak membenarkanya. Karena Diskursus ini, sudah banyak kita temukan dalam turots islam seperti halnya, dalam karya master piece Imam Ghozali, Ihya Ulumuddin, makna “seburuk²nya ulama adalah mereka yang datang pada penguasa”, memiliki banyak penjelasan yang harus kita pahami mendalam. Bahwa ringkasnya, mereka yang dimaksud adalah oknum ulama yang mendatangi penguasa untuk meraup dunia darinya dengan atas agama dari label ke_ulama_annya.
Lalu, pertanyaannya. masukkah sebgian masisiur dalam kempatan ini dalam oknum ulama itu? Jelas tidak dan jauh sekali titik temunya, karena jelas² tidak ada dari mereka yang berjabat tangan dengan mengatsnamakan agama.
Namun yang sangat kami sayangkan, jika berjabatan tangan dengan merampas hak orang (sulitnya berjalan, terdorong dsb), itu justru tidak dibenarkan dimanapun tempatnya.
Sehingga, kesimpulan saya. Jika berjabat tangan sewajarnya tanpa merampas hak orang lain, ya bolehlah.
Penulis : Muhammad Fajrus Surur
Daftar Referensi:
- Dar al ifta’ misriah, 1/1/2017.
- Al bukhori, Shohih bukhori.hlm 1312.
- Al ghozali, Ihya Ulumuddin. Hlm 212, jld 1. Mktabah syamilah.
- Al hutaibah, Syarh Riyadus Sholihin. Hlm 5, jld 18. Maktabah syamilah.
- Ismail kholilie, Catatan Dari Tarim, red
Leave a Reply