Sehat Mental, Harmonis Pernikahan: Persiapan Emosional bagi Calon Pasangan

berjutapena.or.id,- Pernikahan merupakan salah satu fase kehidupan yang penuh dengan tantangan dan tanggung jawab. Dalam Islam, pernikahan dipandang sebagai ibadah sekaligus amanah yang harus dijalani dengan serius. Rasulullah SAW bersabda, “Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian mampu menikah, maka menikahlah, karena itu lebih menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan diri.” (HR. Bukhari dan Muslim). Namun, untuk menjadikan pernikahan sebagai ladang ibadah dan kebahagiaan, diperlukan kesiapan mental dan emosional yang matang.

Kesehatan mental tidak hanya menyangkut ketenangan individu, tetapi juga menjadi fondasi bagi keharmonisan sebuah rumah tangga. Psikolog klinis Dr. John Gottman menyatakan bahwa pasangan yang sehat secara emosional memiliki kemampuan untuk menyelesaikan konflik dengan komunikasi yang efektif dan saling pengertian. Sayangnya, banyak pasangan yang memasuki gerbang pernikahan tanpa memahami pentingnya persiapan mental dan emosional, sehingga rentan terhadap konflik yang bisa berujung pada perpisahan.

Persiapan mental sebelum menikah mencakup kemampuan mengelola tekanan, menghadapi ekspektasi, dan menyelaraskan visi hidup bersama pasangan. Dalam sebuah penelitian, ditemukan bahwa pasangan yang menjalani bimbingan pranikah memiliki peluang lebih besar untuk mempertahankan hubungan jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa persiapan sebelum menikah tidak hanya bersifat spiritual tetapi juga psikologis.

Tekanan sosial dan ekspektasi keluarga sering menjadi tantangan utama bagi calon pengantin. Dalam budaya kita, pernikahan sering kali dianggap sebagai solusi untuk berbagai masalah hidup, seperti tekanan usia atau keinginan memenuhi harapan orang tua. Namun, jika tekanan ini tidak dikelola dengan baik, pasangan dapat memasuki pernikahan dengan beban emosional yang berat. Rasulullah SAW mengajarkan agar pernikahan dilakukan atas dasar cinta dan ketakwaan, bukan karena paksaan atau tekanan dari pihak mana pun.

Selain itu, pengalaman masa lalu atau trauma juga dapat memengaruhi kesiapan seseorang untuk menikah. Misalnya, seseorang yang pernah mengalami kegagalan hubungan sebelumnya mungkin membawa luka emosional yang belum pulih. Dalam hal ini, konseling pranikah dapat membantu pasangan mengidentifikasi masalah-masalah tersebut dan menemukan solusi yang tepat. Menurut psikolog keluarga, Dr. Gary Chapman, pasangan yang mampu saling mendengarkan dan memahami luka emosional satu sama lain memiliki hubungan yang lebih harmonis.

Persiapan emosional tidak kalah pentingnya dengan persiapan finansial atau spiritual. Sebelum menikah, calon pasangan harus belajar mengenali dan mengelola emosi mereka. Hal ini mencakup kemampuan untuk mengontrol amarah, memahami kebutuhan pasangan, dan menjaga komunikasi yang sehat. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya.” (HR. Tirmidzi).

Komunikasi merupakan kunci utama dalam mempersiapkan emosional calon pasangan. Sebuah studi dari American Psychological Association menunjukkan bahwa pasangan yang sering berbicara secara terbuka dan jujur memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi. Komunikasi yang sehat memungkinkan pasangan untuk saling memahami kebutuhan, kekhawatiran, dan harapan masing-masing sebelum memasuki pernikahan.

Salah satu langkah praktis yang bisa diambil adalah dengan melatih mindfulness atau kesadaran penuh. Mindfulness membantu calon pasangan untuk lebih fokus pada saat ini dan mengurangi kecemasan terhadap masa depan. Dalam Islam, mindfulness bisa diimplementasikan melalui ibadah seperti shalat dan dzikir, yang membantu menenangkan jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Selain itu, dukungan keluarga dan lingkungan juga sangat penting dalam membangun kesiapan mental dan emosional. Keluarga yang memberikan dukungan emosional dapat membantu calon pasangan mengelola tekanan dan ekspektasi. Dalam hal ini, para pemangku kebijakan di KUA juga memiliki peran penting untuk menciptakan program bimbingan pranikah yang komprehensif, mencakup aspek psikologis, emosional, dan spiritual.

Sayangnya, stigma terhadap kesehatan mental masih menjadi hambatan bagi banyak pasangan. Banyak yang enggan untuk membicarakan masalah emosional mereka karena takut dianggap lemah atau tidak layak menikah. Padahal, Rasulullah SAW sendiri sangat memahami pentingnya kesehatan jiwa dan selalu memberikan nasihat yang menenangkan kepada para sahabatnya ketika mereka menghadapi kegelisahan.

Sebagai rekomendasi, calon pasangan dianjurkan untuk mengikuti konseling pranikah yang berfokus pada pengelolaan emosi, komunikasi, dan pemecahan masalah. Konseling ini dapat dilakukan dengan menghadirkan psikolog atau konselor profesional yang memahami konteks budaya dan agama. Selain itu, para calon pengantin juga disarankan untuk mengikuti pelatihan keterampilan hidup, seperti manajemen waktu, pengelolaan keuangan, dan penyelesaian konflik.

Untuk memaksimalkan manfaat dari bimbingan pranikah, pemerintah dan KUA perlu berkolaborasi dengan psikolog, ulama, dan lembaga pendidikan untuk menyusun modul pelatihan yang holistik. Modul ini harus mencakup topik-topik seperti pentingnya empati dalam hubungan, strategi menghadapi tekanan rumah tangga, dan cara membangun visi bersama sebagai pasangan.

Pada akhirnya, kesehatan mental dan emosional adalah modal utama bagi setiap pasangan yang ingin membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Dengan mempersiapkan diri secara matang, calon pasangan tidak hanya akan memiliki hubungan yang harmonis tetapi juga mampu menghadapi berbagai tantangan yang mungkin muncul dalam pernikahan. Semoga setiap langkah menuju pernikahan selalu diberkahi Allah SWT.

Rekomendasi untuk Pemangku Kebijakan di Kementerian Agama:

1. Pendidikan pranikah wajib melibatkan psikolog dan ulama (bisa gandeng pondok pesantren menjadi tempat pelatihan, tidak harus monoton di KUA), Kiai Kiai pesantren yang memiliki karisma tinggi bisa menjadi pemateri khusus dalam pendidikan pranikah tersebut.

2. Update modul pelatihan pranikah yang komprehensif, mencakup aspek psikologis, finansial, emosional, dan spiritual. Karena kebutuhan keluarga di masa depan tidak hanya pemahaman soal mengelola hubungan secara islami tetapi lebih kepada mempertahankan hubungan dengan cerdas mengelola emosi dan kesiapan ketahanan mental masing masing pasangan sehingga secara emosional akan bisa mengelola konflik di internal keluarga.

3. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan mental dan emosiolan melalui kampanye edukasi.

4. Memberikan dukungan lanjutan pasca-pernikahan bagi pasangan yang menghadapi masalah rumah tangga.

Semoga rekomendasi ini dapat menjadi panduan dalam meningkatkan kualitas bimbingan pranikah dan membantu calon pasangan memasuki gerbang pernikahan dengan penuh kesiapan dan keikhlasan.

Penulis : Saini (Dosen Hukum Keluarga Islam di Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nurul Qarnain Jember)

Muhammad Robet Asraria Soma
Santri Tulen