Berquran adalah mengorbankan sebagian harta, lalu dibelikan salah satu hewan ternak, kemudian disembelih paska sholat Idul Adha, atau pada tanggal 11,12,13 dzulhijjah, yang disebut juga hari tasyrik.
Tapi, bukankah mencintai Allah Swt tak patut disebut berkorban, melaikan keharusan sebagai seorang hamba.
Imam Abu hanifah dan ulama hanafiyah memandang qurban ialah ibadah wajib, kewajiban itu berlaku tiap tahunnya untuk orang yang bermukim atau tidak bepergian ke suatu daerah.
Namun, jumhur ulama seperti Imam Syafi’i, Hambali dan Maliki, berqurban adalah tidak wajib, melainkan sunnah muakkad.
Dalam riwayat Ahmad dan Ibnu Majah Rasulullah Saw bersabda :
عَنْ َأبِي هُرَيْرَة: َأنَّ رَسُوْل اللهِ صلى الله عليه وسلم قال : مَنْ كَانَ لهُ سَعَة وَلمْ يَضَحْ فَلا يَقْربَنَّ مُصَلَّانَا
Artinya: “Dari Abu Hurairah, “Rasulullah SAW telah bersabda, barangsiapa yang mempunyai kemampuan, tetapi ia tidak berkurban maka janganlah ia mendekati (menghampiri) tempat salat kami ” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Berqurban bukan tentang siapa yang paling kaya, bukan tentang yang paling tinggi derajatnya. Tapi tentang takdir dan menjaga hidayah yang Allah Swt titipkan di setiap lubuk hati. Karena setiap tetesan darah hewan qurban, dapat menghapus butiran dosa-dosa.
Ketika sayup-sayup suara takbir Idul Adha bersahutan, saat semilir angin menyayat kulit dengan mesra, dan mentari menyambut kita dengan hangatnya. Malaikat Jibril berseru “ Wahai ummat Muhammad, pulanglah, Allah Swt telah mengganti keburukan dengan kebaikan “.
Daging Qurban yang baik adalah yang ketika kau makan dagingnya, mengingatkanmu pada air mata pengembalanya.
wallahu a’lam.
penulis : M. Akmal Marzuqin, Santri dan bukan siapa-siapa. bisa disapa di IG-nya, @ma.marzuqin.
Leave a Reply