berjutapena.or.id – Di tengah krisis lingkungan yang kian mengkhawatirkan, Pesantren Nurul Qarnain menghadirkan potret berbeda. Kebersihan di pesantren ini tidak dipahami sekadar tata tertib, melainkan laku keagamaan yang berakar pada fiqh taharah. Dari pengelolaan air hingga disiplin santri, praktik keseharian Nurul Qarnain menunjukkan bagaimana kesucian ritual bertransformasi menjadi etika ekologis dan kesalehan sosial yang hidup.
Dalam khazanah fikih klasik, bab taharah sering dipahami secara sempit sebagai prasyarat sah ibadah mahdhah. Ia dipelajari secara teknis, dihafal definisinya, dan dipraktikkan sebatas kebutuhan ritual individual. Namun, pembacaan semacam ini sesungguhnya mereduksi kedalaman makna taharah itu sendiri. Padahal, jika ditelusuri secara maqasidiyah, taharah menyimpan dimensi ekologis yang sangat kuat. Kesucian dalam Islam tidak hanya berurusan dengan tubuh dan ibadah personal, tetapi juga dengan lingkungan hidup sebagai ruang berlangsungnya ibadah dan kehidupan manusia. Dalam konteks inilah praktik keseharian Pesantren Nurul Qarnain di Jember layak dibaca sebagai kontribusi nyata pesantren terhadap pengembangan fiqh lingkungan berbasis maqasid al-syariah.
Pesantren sejak awal merupakan ruang sosial-religius yang memadukan teks dan praksis. Apa yang dipelajari dalam kitab kuning tidak berhenti sebagai wacana, melainkan menjelma menjadi laku hidup kolektif. Taharah, dalam tradisi pesantren, bukan sekadar bab awal kitab fikih, melainkan fondasi pembentukan etos kebersihan, kedisiplinan, dan tanggung jawab sosial. Di Nurul Qarnain, praktik-praktik kebersihan harian santri, pengelolaan air, sanitasi asrama, serta budaya bersih lingkungan dapat dibaca sebagai pengejawantahan nilai taharah yang bergerak dari ranah ritual menuju etika ekologis.
Pengelolaan air menjadi praktik pertama yang paling kentara. Air dalam fikih taharah diposisikan sebagai media utama kesucian, dengan syarat-syarat ketat agar tetap berstatus tahur. Kesadaran akan keterbatasan air, larangan israf, serta kewajiban menjaga kebersihan sumber air sejatinya telah lama tertanam dalam ajaran fikih. Al-Qur’an secara tegas mengingatkan, “Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (QS. al-A’raf [7]: 31). Di Pesantren Nurul Qarnain, kesadaran ini tampak dalam penggunaan air wudu yang terkontrol, pemeliharaan tempat wudu dan kamar mandi, serta penanaman etika hemat air kepada santri. Praktik ini bukan sekadar disiplin teknis, tetapi refleksi dari maqasid hifz al-bi’ah dan hifz al-nafs, menjaga lingkungan sekaligus kesehatan manusia.
Sanitasi dan kebersihan lingkungan pesantren juga dapat dibaca sebagai perpanjangan dari konsep najasah dalam fikih. Najis dalam pengertian klasik memang berkaitan dengan benda-benda tertentu yang menghalangi sahnya ibadah. Namun, dalam pembacaan kontekstual, najasah dapat dimaknai lebih luas sebagai segala hal yang merusak kebersihan, kesehatan, dan martabat hidup manusia. Limbah yang tidak terkelola, sampah yang menumpuk, serta lingkungan yang kotor sejatinya adalah bentuk “najasah ekologis” yang bertentangan dengan spirit syariat. Rasulullah SAW bersabda, “At-tahuru syatrul iman” (HR. Muslim), kebersihan adalah separuh iman. Hadis ini menegaskan bahwa iman tidak hanya tercermin dalam keyakinan, tetapi juga dalam kondisi lingkungan yang bersih dan layak huni. Di Nurul Qarnain, pengelolaan kebersihan asrama, masjid, dan fasilitas umum menjadi bagian dari praktik keagamaan kolektif, bukan sekadar urusan teknis kebersihan.
Disiplin kebersihan santri merupakan dimensi pedagogis yang tidak kalah penting. Rutinitas membersihkan kamar, menjaga pakaian tetap suci, serta merawat fasilitas pesantren membentuk habitus ekologis yang tertanam sejak dini. Taharah di sini berfungsi sebagai pendidikan karakter berbasis fiqh, yang menanamkan kesadaran bahwa ibadah tidak mungkin tegak di atas lingkungan yang kotor dan rusak. Prinsip ini sejalan dengan kaidah fiqhiyyah, “Ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib”, sesuatu yang menjadi sarana terwujudnya kewajiban, maka ia juga wajib. Jika kebersihan lingkungan menjadi syarat keberlangsungan ibadah dan kesehatan, maka menjaganya adalah bagian dari kewajiban syar’i.
Integrasi antara kajian kitab taharah dan praktik nyata di pesantren memperkuat posisi fiqh sebagai ilmu hidup. Bab air, najasah, dan kebersihan yang dipelajari dalam teks klasik tidak berhenti pada tataran definisi, tetapi diterjemahkan dalam pengelolaan lingkungan pesantren. Inilah bentuk fiqh amali yang selama ini menjadi kekuatan pesantren: fiqh yang tidak terasing dari realitas sosial dan ekologis. Al-Qur’an mengingatkan, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia” (QS. al-Rum [30]: 41). Ayat ini menegaskan dimensi tanggung jawab manusia sebagai khalifah, yang harus diterjemahkan dalam praktik hidup sehari-hari, termasuk dalam lingkungan pesantren.
Keteladanan kiai dan pengurus pesantren menjadi penopang utama keberhasilan praktik ini. Dalam tradisi pesantren, keteladanan memiliki daya transformasi yang jauh lebih kuat dibandingkan instruksi verbal. Ketika kiai dan pengurus menunjukkan kepedulian terhadap kebersihan dan keteraturan lingkungan, nilai taharah menjelma menjadi etika kolektif. Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya” (HR. Bukhari). Akhlak di sini tidak hanya bermakna relasi interpersonal, tetapi juga relasi manusia dengan ruang hidupnya.
Budaya kerja bakti dan kebersihan kolektif di Nurul Qarnain memperlihatkan bagaimana taharah bertransformasi menjadi kesalehan sosial. Kebersihan tidak lagi dipahami sebagai urusan individu, melainkan tanggung jawab bersama. Inilah titik temu antara ibadah mahdhah dan ibadah ijtima’iyyah. Dalam perspektif maqasid, praktik ini memperkuat kemaslahatan umum (al-maslahah al-ammah) dan menjaga keberlanjutan kehidupan bersama.
Dengan seluruh praktik tersebut, Pesantren Nurul Qarnain dapat dibaca sebagai model fiqh lingkungan kontekstual. Ia menunjukkan bahwa fiqh taharah klasik tidak kehilangan relevansinya di tengah krisis ekologis modern. Justru sebaliknya, khazanah fiqh menyediakan perangkat etik dan normatif yang sangat kaya untuk merespons persoalan lingkungan, asalkan dibaca dengan pendekatan maqasid al-syariah. Taharah, dalam konteks ini, bukan sekadar bab pembuka kitab fikih, melainkan fondasi peradaban ekologis pesantren.
Pada akhirnya, pesantren membuktikan bahwa menjaga lingkungan bukan agenda asing dalam Islam. Ia berakar kuat dalam ajaran taharah, ditegaskan oleh dalil naqli, dan dihidupkan melalui praksis keseharian. Ketika pesantren mampu memaknai taharah sebagai maqasid ekologis, maka fiqh tidak hanya menjaga kesucian ibadah, tetapi juga merawat bumi sebagai amanah Ilahi. Inilah kontribusi nyata pesantren bagi masa depan fiqh lingkungan dan keberlanjutan kehidupan manusia.
Oleh : Saini (Wakil Rektor 3 Institut KH Yazid Karimullah, Jember)












Leave a Reply