Dari Konflik Elite ke Krisis Etika: Munculnya Fenomena Normalisasi Merendahkan Ulama

berjutapena.or.id Sampai saat tulisan ini ditulis, konflik di dalam tubuh besar NU masih mengawang dan belum menemukan titik terang. Perselisihan diantara para elite organisasi tidak sekedar menjadi tontonan biasa, melainkan telah menjadi bahan diskusi yang membingungkan bagi masyarakat NU, khususnya pemuda. Ruang diskusi, tempat tongkrongan, bahkan grup whatsapp, kini menjadi medan pertarungan argumen antara kelompok yang memihak kepada Gus Yahya ataupun Kiai Miftah.

Sebagian memandang sikap tegas Syuriah terhadap pemakzulan ketum PBNU; Gus Yahya, terlalu gegabah dan tergesa-gesa. Syuriah dianggap enggan membuka pintu islah. Demikian terlihat dari sikap syuriah yang terkesan menutup pintu bagi Gus Yahya untuk memberikan klarifikasi serta penjelasan terhadap tuduhan-tuduhan yang dilontarkan kepadanya. Selain itu, sebagian orang juga menyayangkan atas absennya jajaran syuriah, khususnya KH. Miftahul Akhyar selaku Rais ‘Aam dalam pertemuan para sepuh NU yang diinisiasi oleh KH. Anwar Mansur Lirboyo dan KH. Nurul Huda Djazuli Ploso di Pondok Pesantren Al-Falah Ploso, Kediri, Jawa Timur, sehingga memuculkan beragam asumsi dari masyarakat, mulai dari politisasi para kiyai sepuh yang dianggap telah didominasi oleh kubu Gus Yahya hingga dugaan konspirasi dibalik keputusan teguh Rais ‘Aam.

Sebagian juga menilai keputusan Syuriah tersebut merupakan tindakan yang tepat. Mereka memandang, perjalanan PBNU selama di bawah kepemimpinan Gus Yahya dinilai mulai menjauh dari jati diri NU sebagai organisasi yang selalu berada di barisan “wong cilik”. Selain karena dugaan berafiliasi dengan jaringan zionis yang menjadi alasan utama pemakzulan, beberapa kebijakan sebelumnya seperti konsesi tambang yang diterima PBNU hingga tata kelola keuangan yang dinilai bermasalah, menjadi salah satu alasan kecurigaan sebagian masyarakat atas kerancuan sistem struktural di dalam tubuh PBNU.

Perselisihan yang terjadi diantara jajaran struktural NU secara tidak langsung telah bergeser menjadi konflik sosial yang mengakibatkan terpolarisasinya masyarakat bawah. Warga NU, secara sadar atau tidak, ikut terseret menjadi semacam “pasukan simbolik” yang membela figur pilihannya. Kondisi ini melahirkan fenomena baru di sebagian kalangan masyarakat NU yakni munculnya kekerasan simbolik berupa normalisasi sikap merendahkan ulama. Fenomena yang seharusnya tidak muncul di kalangan nahdliyin sebagai kelompok masyarakat yang sejak dahulu dikenal dengan tradisi sangat hormat kepada ulama. Lebih jauh, konflik elite ini tanpa disadari telah membawa masyarakat ke dalam jurang perdebatan yang sarat dengan saling memojokkan. Bahasa keagamaan digunakan untuk melabeli, menstigma, dan menggerus wibawa ulama lain yang dirasa berada diluar kubunya. Pada titik inilah para ulama yang terlibat —atau hanya sekedar diasosiasikan— dalam konflik tersebut menjadi objek kontestasi yang kemudian memunculkan banyak statement dengan narasi yang berkonotasi negatif yang berakibat merusak tatanan etika dan adab yang selama ini dijunjung tinggi oleh NU.

Polarisasi ini sangat tampak di sebagian besar tatanan organisasi, baik ditingkat lokal maupun nasional, secara individu ataupun institusional. Masing-masing menunjukkan keberpihakan mereka kepada salah satu kelompok, baik kelompok Ketua Umum atau Rais ‘Aam sehingga memberikan kesan buruk terhadap kolektifitas dan soliditas NU yang selama ini terjalin dengan baik. Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari sebenarnya telah mewanti-wanti dampak buruk dari terjadinya peselisihan ini. Di dalam Muqaddimah al-Qanun al-Asasi, beliau menulis dua bait syair yang berisi pesan untuk senantiasa rukun dan jangan berpecah-belah. Kemudian beliau mengutip perkataan Ali bin Abi Thalib Radliyallahu ‘Anhu yang menegaskan bahwa sesungguhnya Allah tidak akan pernah menurunkan kebaikan di dalam perpecahan. Namun, yang perlu digarisbawahi adalah perpecahan dan perbedaan itu memiliki arti serta konsekuensi yang berbeda.

Di dalam Islam perbedaan merupakan suatu keniscayaan. Bahkan disebutkan “Ikhtilafu ummati rahmatun” perbedaan adalah rahmat dari Allah kepada hambanya. Artinya, apabila terjadi perbedaan diantara para ulama, tidakan pertama yang harus dilakukan adalah menanamkan rasa hormat dan takdzim kepada para ulama melebihi dari persoalan yang sedang diperseterukan. Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asyari dalam Adabul ‘alim wa al-Muta’allim, menegaskan menjaga kehormatan ulama adalah bagian dari menjaga agama. Oleh karena itu, penulis mengajak pembaca sekalian untuk lebih berhati-hati dalam memberikan statement, terlebih jika berkaitan dengan ulama. Kritik boleh, berbeda pendapat sah, akan tetapi merendahkan ulama dalam bentuk apapun tetap menjadi kerusakan adab yang serius. Wallahu ‘alam.

Oleh: Ahmad Fauzi (Alumni Ma’had Aly Lirboyo ’23)