Militani Setengah Hati dan Fenomena Mudah Pindah Rumah: Pelajaran dari Pesan Para Kiai NU

Berjutapena.or.id — Perkataan KHR. Ahmad Azaim Ibrahimy, “Orang yang setengah-setengah militansinya kepada NU akan mudah keluar. Ia mencari wadah atau rumah lain yang dirasa nyaman,” membuka refleksi penting tentang makna kebersamaan dalam Nahdlatul Ulama. Pesan ini bukan sekadar kritik, melainkan peringatan agar kader kembali menata niat dan memahami apa yang sesungguhnya sedang dijaga.

NU, sejak awal berdirinya, bukan organisasi yang mengandalkan struktur kaku. Ia hidup dari rasa memiliki dan keteguhan batin warganya. KH. Hasyim Asy’ari pernah menegaskan, “Siapa yang mencintai para ulama, insyaallah akan disertakan bersama mereka.” Cinta dan kesetiaan inilah yang menjadi fondasi militansi—bukan teriakan lantang dalam forum, tetapi keteguhan untuk tetap berada di dalam jamaah meski keadaan tidak selalu sesuai harapan.

KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga mengingatkan dengan caranya yang khas:
“NU itu tidak ke mana-mana, tapi ada di mana-mana.”
Ungkapan ini menunjukkan bahwa NU bukan ruang sempit yang dibatasi oleh kenyamanan. NU adalah rumah besar yang mengajarkan kelapangan dada, keterbukaan berpikir, dan kesediaan untuk belajar dari dinamika.

Orang yang militansinya setengah hati datang bukan untuk berkhidmah, tetapi untuk merasa nyaman. Jika suasana berubah sedikit saja, ia mudah goyah. KH. Sahal Mahfudh pernah menyinggung hal ini dalam konteks tanggung jawab berjamaah: “Berjamaah itu selalu ada risiko. Yang bertahan adalah yang memahami nilai, bukan yang sekadar ikut arus.”

Militansi bukan fanatisme; ia adalah komitmen. Komitmen itulah yang membuat kader tidak mudah mencari “rumah lain” hanya karena merasa tersinggung, kalah dalam musyawarah, atau tidak mendapatkan posisi tertentu. KH. Maimoen Zubair (Mbah Moen) pernah berkata, “Setia itu tidak diukur dari banyaknya bicara, tetapi dari kesediaan untuk tetap tinggal.”

Pesan para kiai ini saling melengkapi. Mereka ingin menegaskan bahwa NU adalah ruang tempaan, bukan tempat untuk sekadar menumpang nyaman. NU tidak menjanjikan kesempurnaan struktural, tetapi menawarkan keberkahan perjuangan. Karena itu, yang bertahan adalah mereka yang menanamkan akar dalam—jauh ke bumi nilai.

Militansi yang utuh berarti memahami bahwa NU berdiri untuk menjaga tradisi, memayungi umat, dan merawat warisan ulama. KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) pernah mengingatkan:
“Masuk NU itu tidak cukup hanya menjadi anggota. Yang penting adalah menjadi bagian.”
“Menjadi bagian” berarti hadir sepenuh hati, menguatkan jamaah, dan tidak meninggalkan rumah besar hanya karena angin kecil perbedaan.

Dalam konteks kaderisasi hari ini, pesan Kiai Azaim terasa semakin relevan. Generasi muda sering bergerak cepat, tetapi menginginkan hasil cepat pula. Militansi diuji bukan ketika suasana sedang ramai dan menyenangkan, melainkan ketika organisasi menghadapi riak, kritik, dan perbedaan pandangan.

Pada akhirnya, rumah besar NU tetap berdiri karena orang-orang yang memilih untuk bertahan—yang menata niat, yang mengerti mengapa mereka berada di sini. Dan seperti pesan para masyayikh, militansi sejati tumbuh dari hati yang merasa memiliki, bukan dari langkah yang hanya ikut-ikutan.

Muhammad Robet Asraria Soma
Santri Tulen