Ngaji Dulu Pak dengan Anak Ma’had Aly Biar Birokrasi Tidak Mati Rasa

berjutapena.or.id,- Sedikit terpantik dengan diskusi tadi malem, tentang di mana kerusakan sudah begitu parah, Awalnya saya masih percaya bahwa gerakan sosial bisa dibangun sambil menggandeng birokrat, cuma lawan bicara saya membantah itu semua dengan ketidakpercayaan terhadap birokrasi.

Dari situ muncul pertanyaan apa benar birokrasi ini masih bisa dipercaya,dan masih punya rasa, atau jangan-jangan sudah mati total?

Setiap kali bencana datang, setiap kali rakyat menjerit, setiap kali alam mengamuk, birokrasi seolah-olah baru bangun tidur. Rapat dulu, koordinasi dulu, disposisi dulu sementara korban sudah kehilangan rumah, keluarga, bahkan masa depan.

Ironisnya, ayat Ar-Rum 41 yang berbicara tentang kerusakan akibat ulah manusia seakan menjadi ayat yang paling tidak populer di meja-meja kekuasaan. Mungkin karena ayat itu terlalu jujur. Terlalu tepat sasaran. Terlalu mengganggu kenyamanan mereka yang lebih sibuk mengurus prosedur daripada manusia.

Dan di titik inilah, sarkasme menjadi obat pahit yang perlu disampaikan: Mungkin sudah waktunya birokrasi belajar ngaji dari anak-anak Ma’had Aly.

Iya, anak Ma’had Aly para santri yang tiap hari mempelajari adab sebelum ilmu, amanah sebelum jabatan, kemanusiaan sebelum kepentingan.

Yang tidak punya tanda tangan basah, tapi punya nurani yang masih menyala.

Yang tidak duduk di kursi empuk kantor, tapi duduk di lantai untuk memahami apa itu tanggung jawab.

Sementara sebagian birokrasi?

Lebih hafal jalur dispensasi daripada jalur kemanusiaan.

Lebih cepat menandatangani perjalanan dinas daripada menandatangani kebijakan perlindungan rakyat.

Lebih sibuk menyelamatkan citra daripada menyelamatkan manusia. Kalau begitu, wajar kan kalau kita bilang: Ngaji dulu, Pak. Serius. Ngaji dulu.

Karena kalau anak Ma’had Aly saja bisa memahami ayat tentang kerusakan, lalu kenapa meja kekuasaan dengan semua gaji, fasilitas, dan kuasa justru menjadi sumber kerusakan itu sendiri?

Dan pertanyaan itu makin terasa relevan ketika kita melihat bencana Sumatra hari ini banjir bandang, longsor, dan gelombang kerusakan yang menelan ratusan korban, menghancurkan ribuan rumah, serta memaksa puluhan ribu warga mengungsi.

Sebagian orang menyebutnya musibah alam. Tapi kalau kita jujur, banyak dari luka itu bukan karena alam, melainkan karena manusia terutama mereka yang punya kuasatidak mau belajar.

Hutan digunduli tanpa kontrol.Tata ruang diatur asal jadi. Mitigasi bencana hanya rajin muncul saat konferensi pers, bukan sebelum bencana terjadi.

Dan ketika semuanya runtuh, birokrasi baru bergerak setelah lampu kamera menyala.

Ayat Ar-Rum 41 sudah memberi spoiler:

kerusakan itu ulah dari kelalaian manusia.

Dan lebih pedasnya lagi:

kerusakan di Sumatra itu bukan hanya bukti gagalnya alam menahan beban, tetapi juga gagalnya kesadaran moral mereka yang diberi amanah untuk mencegah kerusakan itu.

Di tengah semua itu, lucu, ya kita malah harus membayangkan skenario bahwa para pejabat duduk ngaji bareng anak-anak Ma’had Aly, ditemani kitab kuning dan secangkir kopi, agar mereka ingat bahwa menjadi pejabat itu bukan cuma soal tanda tangan dan konferensi pers, tapi soal menyelamatkan nyawa manusia.

Karena apa lagi solusinya ketika birokrasi terlihat lebih cepat mengganti wallpaper kantor daripada melakukan relokasi kawasan rawan bencana?.

Lebih cekatan membentuk panitia acara daripada membentuk strategi mitigasi? Lebih sibuk membangun pencitraan daripada membangun perlindungan?.

Mungkin, memang, sudah waktunya mereka belajar ngaji. Bukan untuk menambah hafalan, tapi untuk menambah hati. Bukan untuk menampilkan kesalehan di kamera, tapi untuk menyalakan rasa kemanusiaan yang sudah lama padam.

Karena kalau anak Ma’had Aly bisa memahami bahwa amanah adalah urusan moral yang berat, Maka birokrasi pun tidak punya alasan untuk terus bersembunyi di balik alasan “prosedur” dan “keterbatasan teknis.”

Bencana Sumatra bukan sekadar musibah itu adalah cermin besar yang menatap balik wajah birokrasi dan bertanya:

“Sudah berapa jauh kalian meninggalkan tanggung jawab itu?”

Dan kalau jawabannya adalah: “terlalu jauh,”

maka tidak ada jalan pulang yang lebih tepat selain kembali mengaji, mengaji nilai, mengaji amanah, mengaji kemanusiaan.

Sebab tanpa itu, bukan hanya birokrasi yang mati rasa, tapi juga rakyat yang mati karena rasa lalai kekuasaannya.

Penulis : Ahmad Rizky

Muhammad Robet Asraria Soma
Santri Tulen