Berjurapena.or.id – Dalam sejarah Islam, sosok Sayyidina ʿAlī bin Abī Ṭālib ra. menempati posisi yang sangat istimewa. Ia bukan hanya dikenal sebagai sepupu sekaligus menantu Rasulullah ﷺ, tetapi juga sebagai simbol kecerdasan, keberanian, dan keadilan. Masa kepemimpinannya menjadi babak penting dalam perjalanan umat Islam — masa di mana kekuasaan berpadu dengan ujian besar, dan keadilan diuji oleh perpecahan internal.
1. Latar Belakang dan Pengangkatan
Sayyidina ʿAlī bin Abī Ṭālib ra. adalah anak dari Abū Ṭālib bin ‘Abdul Muṭṭalib, paman Rasulullah ﷺ. Ia adalah orang pertama dari kalangan anak-anak yang memeluk Islam dan tumbuh di bawah asuhan langsung Nabi.
Setelah wafatnya Sayyidina ‘Utsmān bin ‘Affān ra. pada tahun 35 Hijriah, umat Islam menghadapi situasi genting. Dalam suasana penuh tekanan dan keresahan, mayoritas sahabat di Madinah membaiat ʿAlī sebagai khalifah keempat. Ia menerimanya dengan penuh kerendahan hati, menegaskan bahwa jabatan itu adalah amanah, bukan kehormatan duniawi.
Imam Ibn Katsīr mencatat dalam Al-Bidāyah wan-Nihāyah, “Khalifah ʿAlī menerima kekuasaan di masa paling sulit, saat umat dilanda kebingungan, namun ia tetap tegak dengan keadilan.”
2. Prinsip Pemerintahan dan Keadilan
Kepemimpinan ʿAlī ra. berlandaskan amanah, kesetaraan, dan kejujuran. Ia menolak keras segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan dan nepotisme.
“Sesungguhnya hak itu tidak diketahui karena orangnya, tapi orang dinilai karena kebenarannya,” ujar beliau sebagaimana tercatat dalam Nahj al-Balāghah.
Sebagai khalifah, ia menata ulang kebijakan ekonomi, menghapus perbedaan tunjangan antara sahabat senior dan pendatang baru, serta mengembalikan harta negara yang sebelumnya disalahgunakan. Kebijakannya yang tegas ini menuai pro dan kontra, namun prinsip keadilannya tak pernah goyah.
ʿAlī juga dikenal sangat berilmu. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Aku adalah kota ilmu, dan ʿAlī adalah pintunya.”
(HR. at-Tirmiżī, no. 3723)
3. Ujian dan Konflik Besar
Masa kepemimpinan Sayyidina ʿAlī ra. adalah masa ujian terberat dalam sejarah Khulafā’ur Rāsyidīn. Setelah kezaliman terhadap ‘Utsmān bin ‘Affān, muncul berbagai kelompok dengan kepentingan dan pandangan yang berbeda.
a. Perang Jamal (36 H)
Perang ini melibatkan pihak Khalifah ʿAlī melawan kelompok yang dipimpin oleh Sayyidah ʿĀisyah ra., bersama sahabat Ṭalḥah dan az-Zubair. Perselisihan bukan karena ambisi kekuasaan, melainkan perbedaan cara menegakkan keadilan atas pembunuhan ‘Utsmān.
Setelah pertempuran, ʿAlī memperlakukan musuh-musuhnya dengan penuh hormat. Ia bahkan mengawal Sayyidah ʿĀisyah pulang ke Madinah dengan kehormatan penuh.
b. Perang Ṣiffīn (37 H)
Pertempuran ini terjadi antara pasukan ʿAlī dan pasukan Muʿāwiyah bin Abī Sufyān, Gubernur Syam. Ketegangan memuncak hingga terjadi tahkīm (arbitrase), yang kemudian dimanfaatkan pihak tertentu untuk melemahkan posisi ʿAlī.
c. Munculnya Khawārij
Sebagian pengikut ʿAlī menolak keputusan tahkīm dan keluar dari barisannya. Mereka dikenal sebagai Khawārij, kelompok ekstrem yang kemudian melakukan pemberontakan. ʿAlī menumpas mereka dalam Perang Nahrawān (38 H), namun sisa-sisa pengaruh mereka tetap menjadi benih perpecahan di kemudian hari.
4. Syahidnya Sang Khalifah Adil
Pada subuh 17 Ramadhan 40 H (661 M), Sayyidina ʿAlī diserang oleh seorang Khawarij bernama ʿAbdurraḥmān bin Muljam saat hendak melaksanakan salat di Masjid Kufah. Pedang beracun mengenai kepalanya, dan dua hari kemudian beliau wafat sebagai syahid.
Kata-kata terakhirnya menggema hingga kini:
“Demi Allah, aku telah beruntung! Demi Tuhan Ka‘bah!”
Beliau wafat pada usia 63 tahun, usia yang sama dengan Rasulullah ﷺ. Jenazahnya dimakamkan secara rahasia di wilayah Kufah untuk menghindari perpecahan lebih lanjut.
5. Warisan Kepemimpinan
Sayyidina ʿAlī bin Abī Ṭālib ra. meninggalkan warisan besar yang melampaui kekuasaan duniawi — yaitu warisan ilmu, ketegasan, dan keteladanan moral.
Ia menjadi panutan dalam keberanian, kefakiran yang terhormat, dan keadilan tanpa kompromi. Banyak ulama menyebutnya sebagai bapak fiqih dan tasawuf Islam.
Imam Ahmad bin Hanbal berkata:
“Tidak ada sahabat Nabi yang lebih banyak keutamaannya diriwayatkan secara sahih selain ʿAlī bin Abī Ṭālib.”
(Musnad Ahmad, jilid 1, hlm. 150)
6. Penutup
Kepemimpinan Sayyidina ʿAlī ra. menegaskan bahwa kekuasaan bukan sekadar kemampuan mengatur negara, tetapi keberanian menegakkan kebenaran meski berhadapan dengan fitnah dan perpecahan.
Dari ketegasannya, umat belajar arti keadilan sejati. Dari kesabarannya, umat belajar arti kepemimpinan yang penuh keikhlasan. Dan dari wafatnya, umat belajar bahwa perjuangan menegakkan kebenaran tidak berakhir dengan pedang, melainkan abadi dalam sejarah.
Daftar Sumber Rujukan:
- Ibn Katsīr, Al-Bidāyah wan-Nihāyah, Dār al-Fikr, Beirut, jilid 7.
- Al-Ṭabarī, Tārīkh al-Ṭabarī, Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, jilid 4–5.
- Nahj al-Balāghah, Khutbah dan Wasiat Sayyidina ʿAlī.
- Imam at-Tirmiżī, Sunan at-Tirmiżī, no. 3723.
- Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi, ʿAlī bin Abī Ṭālib: Kepribadian dan Kepemimpinannya, Darul Haq, 2015.
- Khalid Muhammad Khalid, Khulafā’ ar-Rāsyidīn: Biografi dan Kepemimpinan Empat Khalifah, Pustaka Al-Kautsar, 2018.











Leave a Reply