berjutapena.or.id,- Peristiwa viral seorang kepala sekolah yang menampar siswanya karena merokok di lingkungan sekolah kembali menggugah perbincangan lama: sejauh mana batas ketegasan guru dapat diterima, dan bagaimana masyarakat seharusnya memaknai disiplin di ruang pendidikan.
Reaksi publik terbelah. Sebagian menilai tindakan itu sebagai kekerasan yang tak dapat dibenarkan. Sebagian lain melihatnya sebagai bentuk teguran moral yang lahir dari tanggung jawab seorang pendidik. Namun di balik perdebatan tersebut, ada persoalan yang jauh lebih mendalam: merosotnya wibawa guru dan kaburnya batas antara kebebasan dan kedisiplinan dalam pendidikan.
Dalam tradisi Islam, pendidikan tidak berhenti pada transfer pengetahuan. Ia adalah proses pembentukan akhlak dan kepribadian. Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menulis bahwa guru ibarat dokter bagi hati manusia; ia harus tahu kapan menasihati dengan lembut dan kapan harus bersikap tegas. Ketegasan bukanlah kekerasan, tetapi bentuk kasih sayang yang berani mengambil risiko demi kebaikan murid.
KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, menegaskan dalam Adab al-‘Alim wa al-Muta‘allim: “Ilmu tidak akan bermanfaat tanpa adab, dan adab tidak akan hidup tanpa penghormatan kepada guru.” Pesan ini terasa relevan ketika otoritas moral guru kini sering dilemahkan oleh kultur digital yang gemar menghakimi tanpa memahami konteks.
Publik seolah lupa, sebelum kamera ponsel merekam sebuah “tamparan”, ada proses panjang: pelanggaran yang diulang, teguran yang diabaikan, dan tanggung jawab moral seorang guru yang merasa perlu bertindak. Bila setiap ketegasan langsung dituduh sebagai kekerasan, maka ruang pendidikan akan berubah menjadi arena tanpa disiplin.
KH. Sahal Mahfudh pernah berkata, “Ketegasan adalah bentuk kasih sayang yang berpikir jauh.” Pernyataan ini menegaskan bahwa tugas guru bukan sekadar menyampaikan pelajaran, tetapi memastikan murid tidak kehilangan arah moral. Guru yang membiarkan kesalahan berarti sedang menyiapkan kehancuran karakter anak didiknya.
Yang perlu dibela hari ini bukan siswa yang salah, tetapi marwah pendidikan itu sendiri. Ketika masyarakat lebih cepat membela pelanggaran ketimbang menegakkan nilai, kita sedang menumbuhkan generasi yang cerdas tanpa arah, pandai berbicara namun miskin sopan santun.
Guru tidak selalu benar, tetapi tanpa wibawa guru, pendidikan akan kehilangan jantungnya. Tamparan yang viral itu seharusnya menjadi cermin bagi kita semua: betapa mudahnya bangsa ini melupakan peran guru sebagai penjaga adab di tengah derasnya arus zaman.
Leave a Reply