Arogansi Demonstrasi: Antara Aspirasi atau Pemecah Belah Bangsa

Berjutapena.or.id – Hak konstitusional merupakan hak yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu bentuknya adalah kebebasan berpendapat, baik secara lisan maupun tulisan. Pendapat dipahami sebagai hasil pemikiran atau ide, sedangkan berpendapat berarti menyampaikan atau mengekspresikan ide tersebut. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Salah satu wujud nyata kebebasan berpendapat adalah demonstrasi. Aksi ini bisa berdampak positif, namun juga berpotensi menimbulkan dampak negatif. Jika dilakukan dengan menjunjung tinggi nilai demokrasi, demonstrasi akan dipandang positif dan dihargai. Sebaliknya, bila mengabaikan prinsip demokrasi, ia justru dipandang negatif. Karena itu, demonstrasi harus tetap dijaga agar tidak bergeser menjadi tujuan yang merugikan. Setelah maksud tersampaikan, aksi sepatutnya diakhiri dengan tertib.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Pasal 4 menegaskan bahwa tujuan kebebasan berpendapat di muka umum adalah mewujudkan kebebasan yang disertai tanggung jawab. Hal ini selaras dengan Pancasila dan UUD 1945, sekaligus memberikan perlindungan hukum yang konsisten, menciptakan iklim kondusif bagi partisipasi warga negara, dan menumbuhkan tanggung jawab sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Idealnya, demonstrasi berlangsung damai tanpa mengganggu ketertiban umum, sehingga pesan dapat diterima masyarakat, pemerintah, maupun elit politik. Namun, dalam beberapa waktu terakhir, banyak demonstrasi berakhir ricuh, bahkan anarkis. Kondisi demikian telah keluar dari esensi utama demonstrasi sebagai sarana aspirasi. Alih-alih memberi solusi, justru memunculkan masalah baru yang berpotensi memecah belah bangsa.

Padahal, demonstrasi seharusnya menjadi sarana pencerahan: mengusung aspirasi kritis, konstruktif, dan solutif demi kebaikan bersama. Sayangnya, sering kali tujuan mulia itu bergeser. Aksi massa berubah menjadi tindakan anarkis—merusak fasilitas umum, menjarah, atau mengganggu ketertiban. Hal ini bukan hanya kontraproduktif, tetapi juga mencoreng visi perjuangan demonstran itu sendiri.

Situasi terkini menunjukkan adanya demonstran yang mudah terprovokasi hingga bertindak destruktif dan menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak yang tak seharusnya terdampak. Jika demonstrasi berakhir ricuh, pesan utama yang hendak disampaikan justru tenggelam. Oleh sebab itu, penting bagi semua pihak untuk tidak terjebak provokasi.

Provokasi yang mendorong tindakan anarkis jelas mengancam persatuan bangsa. Padahal, tujuan utama demonstrasi adalah menjaga keutuhan negara sekaligus mengkritisi kebijakan agar tetap berpihak pada rakyat. Demonstrasi memang perlu terus ada sebagai bentuk kontrol terhadap kekuasaan, namun harus dijalankan secara damai dan bertanggung jawab. Dengan demikian, aspirasi tersampaikan, demokrasi terjaga, dan persatuan bangsa tetap utuh.

Oleh:
Mohammad Haris Taufiqur Rahman, S.H., M.H. (Alumni Ponpes Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Reviewer Jurnal Iqtishaduna UIN Alauddin Makassar & Akademisi Universitas Bondowoso)