berjutapena.or.id,- Pesantren dan politik seakan dianggap sebagai dua entitas berbeda yang sangat kontras dan seakan tak bisa dipertemukan. Padahal, jika diulas secara lebih dalam, spirit yang ada di pesantren memiliki porsi yang sama dengan politik. Jika salah satu visi dari pesantren merupakan sebuah wadah edukasi oleh, dari, dan untuk masyarakat, maka politik pun tidak jauh berbeda. Sebagaimana teori klasik yang dijelaskan Aristoteles, “politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama”.
Ditinjau dari segi historis, perjuangan pesantren dalam membangun karakter bangsa Indonesia dalam bidang pendidikan, moral, dan keagamaan perlu untuk dipertimbangkan. Ini karena pesantren mampu mengembangkan sumber daya manusia (SDM) secara mandiri dan terus menerus. Kemampuan adaptif pesantren ditengah-tengah tantangan modernisasi dan globalisasi semakin menunjukkan eksistensi sekaligus keunggulannya.
Said Aqil Sirajd dalam bukunya “Pesantren Masa Depan, Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren “ mengatakan bahwa pesantren dapat dikatakan unik karena dua alasan. Pertama, pesantren hadir untuk merespons situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapkan pada runtuhnya sendi-sendi moral atau bisa disebut perubahan sosial. Kedua, adanya pesantren adalah untuk menyebar luaskan ajaran Islam ke seluruh pelosok nusantara.
Oleh karenanya, di pesantren, para santri tidak hanya dibekali pelajaran sosial dan agama melainkan juga harus berakhlak karimah. Inilah salah satu keunggulan pesantren yang tidak dimiliki institusi-institusi pendidikan di luaran sana. Sebagaimana ditegaskan pula oleh hadits nabi “sesungguhnya orang-orang pilihan diantara kalian ialah orang yang baik perangainya”. Tidak peduli sepintar atau secerdas apapun seseorang, jika ia tak memiliki moralitas, maka ia bukanlah orang pilihan. Tugas utama diutusnya Nabi juga untuk memperbaiki moral dan etika, bukan mencerdaskan dan membuat manusia memiliki wawasan tinggi.
Pendidikan moral dan etika telah ditanamkan sejak dini di dalam pesantren. Terbukti dengan banyaknya kitab-kitab yang memuat tentang adab dan etika yang disodorkan kepada para santri sejak ia masih duduk dibangku diniyah (dasar), seperti “Akhlakul lil-banin”, “Ta’lim Muta’allim”, “Wasiyatul Mushtofa” dan masih banyak lagi yang lainnya. Artinya, Islam telah menjelaskan secara rinci mana perbuatan yang baik dan buruk. Standar etika yang telah diatur dalam Islam dapat menghilangkan kerancuan terkait definisi etika yang berlaku pada setiap kelompok. Dan hal inilah yang diajarkan di pesantren.
Tidak hanya itu, ketika melihat pelajaran yang terdapat di pesantren, rata-rata semuanya secara eksplisit mengandung relevansi terkait karakteristik yang wajib dimiliki politisi. Seperti, tanggung jawab, mandiri, berlaku adil, moderat, amanah, ikhlas dll. Sifat-sifat inilah yang dibutuhkan pemuda saat ini yang memang sedang dilanda krisis moral dan etika.
Sayangnya, masih banyak pemuda jebolan pesantren yang belum mantap melangkah ke dunia politik. Mereka cenderung terpengaruh oleh stigma yang berkembang, seolah-olah politik adalah ruang kotor yang tak layak disentuh, apalagi dijadikan medan dakwah dan aktualisasi diri para santri.
Jika melihat kembali konteks tujuan berdirinya pesantren, tugas para santri adalah menjadi penerus ajaran Rasulullah Saw dan penegak pilar-pilar kebangsaan. Apabila dikembangkan dalam skala yang lebih luas, maka dengan turut aktif berpartisipasi dalam bidang politik merupakan sebuah keniscayaan dan kewajiban bagi seorang santri guna mewujudkan hal tersebut.
Juga, dengan berpolitik, para santri secara tidak langsung telah merawat dan menjaga keutuhan NKRI sebagai wasilah dalam menjalankan syariah Islam secara maksimal. Ia akan dianggap sebagai revolusioner yang dapat memberikan pandangan berbeda, asalkan secara konsisten membawa nilai-nilai yang telah diperoleh dari pesantren.
Karakteristik Seorang Santri (Relevansi akan nilai-nilai Politikus)
Untuk semakin menguatkan peran dan kontribusi pemuda pesantren, maka di sini akan dijelaskan kiat-kiat yang harus diimplementasikan kaum sarungan ketika ia berpolitik.
- Kepercayaan diri
Pertama-tama, pemuda lulusan pesantren harus memiliki kepercayaan diri yang kokoh tatkala ia berpolitik. Percaya terhadap kemampuan yang dimiliki akan menghapus rasa minder dan pesimistis yang selama ini menghantui para santri. Ia harus berani tampil ditengah-tengah lingkungan yang notabene di huni orang-orang non pesantren. Kepercayaan diri (self confidence) sangat urgen untuk menggapai prestasi dan target tinggi, sebagaimana sebuah pepatah “kepercayaan terhadap integritas diri sendiri merupakan kunci sebuah kesuksesan”.
- Amanah
Dimensi politik telah kehilangan marwah dengan banyaknya dari kalangan politisi yang krisis soal amanah. Janji-janji manis yang dilontarkan ketika kampanye, tidak selaras dengan tindakan ketika ia terpilih. Amanah dapat dimaknai dengan “dapat dipercaya dalam berbagai urusan”. Sifat ini merupakan karakteristik paling penting untuk direalisasikan tatkala berpolitik. Orang yang amanah akan mencurahkan segala kemampuannya dalam menjalankan tugas yang sedang diemban. Karakter ini tidak senantiasa mudah untuk diwujudkan. Butuh kesadaran dan kebiasaan (habbits) yang ditanamkan sejak usia dini, dan dipesantren, hal ini bukan hanya menjadi kebiasaan melainkan sebuah kewajiban yang harus dimiliki tiap individu.
- Ikhlas dalam Bertindak
Ketika seseorang rela meluangkan waktu, tenaga, dan biaya demi menjalankan sebuah misi agung, di samping ia tidak mengharapkan upah sepeser pun, maka inilah yang dikatakan ikhlas. Ikhlas tidak dapat terlihat secara kasat mata, melainkan hanya pemilik rasa yang mengetahuinya. Ketika mereka tanpa pamrih menjalankan sebuah tugas dengan rasa penuh optimis, maka tugas yang diemban akan terealisasi dengan baik. Dan jika sebaliknya, maka bisa dibayangkan betapa buruknya nasib umat yang dipimpin atau tugas yang diamanahkan. Karena, ia akan mengeruk keuntungan dari sesuatu yang bukan miliknya.
Penutup dan Kesimpulan
Dimensi politik nusantara membutuhkan sebuah aura berbeda sebagai penyegar dari segala kebusukan yang telah terjadi. Problem yang masih akut untuk diselesaikan tak lain adalah masalah etika. Banyak dari politikus yang abai akan pentingnya merajut elemen-elemen yang meneguhkan keyakinan bahwa etika merupakan puncak dari segalanya. Secerdas apa pun mereka, sekreatif bagaimanapun jiwa pemuda, jika tak diimbangi dengan moral yang luhur maka hanya akan menjadi mala petaka bagi moralitas bangsa ini.
Sementara itu, mereka yang dianggap memiliki nilai-nilai etis bersikap apatis dan acuh terkait masalah moral yang sudah akut. Karena itu, penting untuk disadari bagi jebolan pesantren untuk menumbuhkan kesadaran akan peran strategis mereka, terutama jika mereka ingin bangsa ini terus dipimpin oleh sosok-sosok yang tak hanya memiliki kreativitas tinggi, tetapi juga nilai etika yang mumpuni.
Dalam artian, cara tersebut dapat terwujud salah satunya dengan memberikan edukasi dan ruang akses bagi pemuda pesantren terkait dunia politik. Santri, sebagaimana yang telah dijelaskan dianggap memiliki kemampuan untuk menjadi sebuah pembaharu yang lebih progresif. Alasannya, karena mereka memahami dan mengerti di mana letak posisi etika yang sesungguhnya, sehingga santri menjadi objek vital guna dapat menjadi pembeda siklus karakteristik manusia modern saat ini.
Penulis : Muhammad Ubaidillah (Mahasantri Ma’had Aly Situbondo) – Peserta Lomba Literasi
Leave a Reply