Nampaknya mendefinisikan Gus sebagai putra Kiai saja sudah usang dan menimbulkan keresahan, perlu adanya rekonstruksi definisi agar tidak disalah gunakan. Sebab inkompetensi jauh lebih menghancurkan dari pada kejahatan.
Allah berfirman dalam surat Yasin 21
اتَّبِعُوا مَنْ لَا يَسْأَلُكُمْ أَجْرًا وَهُمْ مُهْتَدُونَ
“Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan apa pun kepadamu atas dakwah mereka itu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk dari Allah.”
Perlu kita pahami bersama bahwa penghormatan untuk Gus bukanlah cek kosong. Penghormatan itu harus selaras dengan manfaat nyata dari keberadaan Gus tersebut bukan alih-alih mengambil keuntungan, sehingga Gus yang secara sosial merupakan al-imam al-muntadhar tidak cukup hanya bermodal darah biru namun juga memiliki kepakaran dan manfaat yang dapat diberikan.
Namun belakangan ini banyak oknum Gus yang sekaligus menjelma selebriti agamawan yang hanya pandai berbicara namun tidak tau cara berperilaku baik dan bijak. Umat yang haus akan ketauladanan hanya menjadi objek eksploitasi pembentukan popularitas. Dengan demikian muncullah berbagai gus dengan karisma yang tinggi namun bukan sebab kepakaran melainkan kepopuleran. Teori dasar Max Weber bahwa karisma harus berjalan seiringan dengan kualitas dan kemampuannya perlu menjadi paham bersama agar tidak ada lagi pengkultusan pada orang yang tidak pantas.
Saling cela antara pendukung gus yang didominasi oleh santri dan masyarakat umum khususnya di media sosial sama-sama mendatangkan kerugian pada setiap kelompok. Hal itu akan menimbulkan klaster dan yang lebih sedikit akan termarginalkan. Lalu siapa yang layak disalahkan? Tentu para elit agama yang tidak bijak dalam mengelola otoritasnya.
Terlebih lagi perdebatan yang muncul bukan karena perbedaan substansi, tetapi karena ketidakmampuan saling memahami. Kita perlu mengembalikan Gus pada makna aslinya sebagai pemberi keteladanan, ilmu, dan pengabdian, bukan semata keturunan. Gelar tidak menjamin kebijaksanaan, sebagaimana darah biru tidak otomatis menandakan keimanan. Masyarakat perlu lebih cerdas menimbang, dan para Gus perlu lebih tulus memberi teladan.
Oleh Faqih Alawi*
*Putra KH. Moh Alawi Ashim (Pengasuh PP. Nurud Dhalam Ganding Sumenep)
			











Leave a Reply