
berjutapena.or.id – Dewasa ini, pergerakan politik Islam terasa hambar. Politik sering dianggap sebagai dunia yang kotor dan penuh kekacauan.
Anggapan itu tidak sepenuhnya salah, meskipun juga tidak sepenuhnya benar. Ranah politik memang kerap dipenuhi intrik, transaksi, korupsi, hingga perebutan kekuasaan. Maka wajar jika para santri memandang politik dengan jarak moral tertentu.
Namun demikian, peringatan Imam Al-Ghazali perlu direnungkan dengan serius:
مَنْ لَمْ يَعْرِفِ السِّيَاسَةَ أَكَلَتْهُ السِّيَاسَةُ
Man lam ya‘rif al-siyāsah akalat-hu al-siyāsah — “Barang siapa tidak memahami politik, maka ia akan dimakan oleh politik”.
Kebencian terhadap dinamika politik tidak seharusnya membuat seseorang menutup mata dan enggan terlibat di dalamnya. Banyak orang merasa cukup dengan berkata bahwa ia membenci politik, tanpa menyadari bahwa dari kebodohan politik justru lahir pelacur, anak terlantar, kemiskinan, dan kerusakan alam.
Dalam pandangan Islam, politik bukan semata upaya merebut atau mempertahankan kekuasaan. Politik adalah sarana menegakkan keadilan dan mewujudkan kemaslahatan sesuai dengan tuntunan syariat. Secara teoritis, politik Islam berdiri di atas dua prinsip utama: amar ma‘ruf dan nahi munkar. Kekuasaan berfungsi mengatur dan membatasi, mencegah kezaliman, serta menjalankan kemaslahatan umum. Karena itu, keterlibatan dalam politik bukan sekadar pilihan, tetapi menjadi tanggung jawab moral bagi setiap muslim.
Sudah selayaknya pesantren sebagai lumbung ilmu agama turut berperan aktif dalam ranah politik nasional. Sebab keburukan di dunia tidak selalu muncul karena banyaknya orang jahat, tetapi juga karena diamnya orang-orang baik.
Pemikiran ini sejalan dengan pandangan Imam al-Māwardī yang menempatkan pemangku otoritas politik sebagai nā’ib an al-nabī (pengganti Nabi) yang bertugas menjaga agama sekaligus mengatur urusan dunia. Dalam sistem Islam klasik, otoritas itu berada di tangan khalifah sebagai pemimpin tertinggi. Namun dalam sistem demokrasi modern, konsep otoritas tersebut mengalami reinterpretasi. Kekuasaan tidak lagi dipegang oleh satu individu, melainkan dijalankan oleh lembaga-lembaga yang sah secara konstitusional.
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 31 tentang Partai Politik, maka wadah perjuangan politik Islam berada pada partai-partai Islam yang berideologi keislaman. Partai-partai inilah yang memiliki otoritas politik sah untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam sistem demokrasi. Melemahnya kekuatan partai-partai Islam menandakan menurunnya kepedulian umat terhadap politik. Karena itu, penting untuk menghidupkan kembali kesadaran politik Islam di tengah umat, terutama di pesantren, agar amar ma‘ruf nahi munkar benar-benar menjadi orientasi perjuangan politik.
Bertolt Brecht pernah mengingatkan:
“Buta yang terburuk adalah buta politik. Ia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam urusan politik. Ia tidak tahu bahwa harga beras, ikan, tepung, biaya sewa, sepatu, dan obat-obatan semua bergantung pada keputusan politik.”
Santri tidak boleh asing terhadap politik. Sebab politik yang baik tidak lahir dari orang yang membencinya, melainkan dari mereka yang mengisinya dengan nilai kejujuran, keadilan, dan kemaslahatan. Jika santri abai terhadap politik, maka politik akan dikuasai oleh mereka yang tidak peduli pada nilai-nilai agama. Sudah saatnya santri tidak hanya menjadi penjaga moral, tetapi juga pelaku sejarah yang menyalakan obor peradaban melalui politik yang beretika dan berkeadaban.
Oleh: Faqih Alawi — Mahasiswa S2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta









Leave a Reply