Aktualisasi Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari Tentang Kentongan

berjutapena.or.id,- Pada tanggal 17 November 1964, KH. Hasyim Asy’ari dinobatkan sebagai ‘Pahlawan Nasional’. Penobatan itu langsung ditandatangi oleh Presiden Soekarno. Penulis rasa, beliau sangat layak menerima penghargaan itu dan pemerintah sangat tepat memberikan kepada beliau. Setidaknya ada dua alasan mengapa KH. Hasyim Asy’ari berhak menerima penghargaan tersebut.

Pertama, KH. Hasyim memiliki peran penting terhadap ajaran Islam. Sejak kecil, beliau tumbuh dan besar di lingkungan pesantren. Karakter keislamannya sangat kuat dan tidak goyah sama sekali. Beliau tidak bisa dikompromi lagi menyangkut ajaran Islam. Artinya, beliau sangat kuat untuk menjaga ajaran Islam. Semangat tinggi beliau yang telah membentuk karakter itu. Semangat keilmuan KH. Hasyim juga menjadikan beliau mendapat gelar Hadratussyaikh, yang menandakan kedalaman ilmunya dan spiritualnya.

Peran paling penting dalam menjaga ajaran Islam adalah beliau—kalau boleh disebut—sebagai founding father Nahdlatul Ulama atau yang dikenal dengan sebutan NU. Nahdlatul ulama merupakan organisasi besar yang menjadi wadah sekaligus menjaga ajaran-ajaran Islam. Selain itu, organisasi ini juga merupakan tempat untuk menyalurkan pandangan KH. Hasyim Asy’ari. Salah satu pandangan beliau semisal perihal teologi. Dalam hal teologi beliau mendoktrin ajaran Abu Al-Hasan Al-Asy’ari dan Abu Al-Mansur Al-Maturidi.

Kedua, Kiai Hasyim juga memiliki peran penting terhadap negara Indonesia. Selain ajaran Islam, ajaran budaya di Indonesia juga membentuk karakter KH. Hasyim akan pentingnya menjaga negara ini dari para penjajah. Salah satu peran beliau adalah KH. Hasyim menolak segala jenis bantuan apapun dari pihak Belanda yang ingin mendapatkan simpati para Kiai di Indonesia. Tidak hanya pada masa penjajahan Belanda, pada masa penjajahan Jepang beliau juga ikut membela negara Indonesia.

Salah satu bentuk pembelaan beliau terhadap negara pada masa penjajahan Jepang yaitu, KH. Hasyim mengeluarkan fatwa bahwa umat Islam dilarang melakukan saikeirei, membungkukkan badan pada Kaisar Jepang Tenno Heika. Lantaran fatwa itulah beliau sempat dipenjara selama empat bulan. Selain itu, fatwa penting juga pernah dilakukan beliau—dalam rangka menjaga Indonesia—yaitu, KH. Hasyim mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad NU pada tanggal 22 Oktober 1945. Fatwa ini berisi wajibnya umat Islam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari para pejajah. Fatwa ini menjadikan umat Islam dan seluruh santri di Indonesia tambah semangat dalam membela negara dari para penjajah. Hingga akhirnya, semangat itu pecah menjadi pertempuran dengan para penjajah pada tanggal 10 November 1945 di Surabaya.

Dua alasan di atas sangat menguatkan bahwa KH. Hasyim Asy’ari layak menerima penghargaan itu dan pemerintah tidak keliru memberikan penghargaan tersebut kepada beliau. Selain penghargaan, menarik untuk dikaji adalah pemikiran-pemikiran beliau yang sangat cemerlang. Dengan banyaknya kitab yang beliau karang, menjadi bukti bahwa pemikiran-pemikiran beliau menarik untuk dikaji dan diaktualisasi ke konteks sekarang. Dalam tulisan ini penulis memilih satu pemikiran beliau yang akan dikaji, yaitu tentang ‘kentongan’.

Memahami Hakikat Manusia Yang Simbolis

Beberapa pakar Antropologi termasuk Hans J. Daeng (2000) menyetujui pendapat Ernst Cassier yang menyatakan bahwa manusia sebagai animal symbolicum. Ia beralasan karena manusia sesuai struktur anatominya memiliki sistem reseptor dan sistem efektor. Untuk sistem reseptor memiliki fungsi menerima rangsangan dari luar. Sedangkan sistem efektor berfungsi pereaksi terhadap rangsangan dari luar. Dua sistem itu disebut sebagai ‘lingkaran fungsional binatang’. Lingkaran fungsional ini dapat berubah secara kuantitatif maupun kualitatif. Faktor inilah kemudian yang membedakan manusia dengan binatang. Itulah mengapa manusia dalam kehidupannya banyak menggunakan simbol-simbol.

Contoh sederhana atas teori pandangan di atas adalah lampu lalu lintas. Jika lampunya merah berhenti, jika kuning bersiap untuk melanjutkan perjalanan, baru jika lampunya hijau pengendara dipersilahkan untuk melanjutkan perjalanan. Contoh lain, sebagaimana yang disampaikan oleh H.M. Darori Amin (2000) bahwa di masjid-masjid zaman dahulu pasti terdapat kentongan di samping juga terdapat bedug. Hal ini dilakukan oleh muazin sebelum mengumandangkan azan. Jadi, para muazin akan memukul kentongan itu terlebih dahulu baru kemudian mengumandangkan azan. Barangkali itulah alasan sederhana mengapa KH. Hasyim juga menggunakan kentongan. Secara histori, KH. Hasyim memanfaatkan kentongan dengan beberapa fungsi. Diantaranya adalah untuk mengumpulkan santri dan warga, memberi tanda bahaya, mobilisasi jihad, penanda waktu ibadah, dan lain-lain. Jadi, boleh dikatakan KH. Hasyim menggunakan kentongan adalah sebuah kewajaran sebagai manusia biasa.

Fatwa KH.Hasyim Asy’ari Tentang Kentongan

Dalam risalah beliau yang diberi nama Al-Jaasuus fi Bayani Hukmi Al-Naqus, dijelaskan bahwa mengenai ada dua pendapat ulama tentang kentongan. Pertama, boleh hukumnya menggunakan kentongan. Kedua, tidak boleh menggunakan kentongan. Awalnya, KH. Hasyim selaras dengan pendapat pertama yang mengatakan diperbolehkan menggunakan kentongan. Tetapi, berhubung beliau mendengar secara langsung bahwa orang Nasrani juga membunyikan kentongan di saat waktu ibadah mereka dimulai, maka sejak itulah beliau menghukumi haram menggunakan kentongan untuk penanda masuk waktu salat atau untuk bel masuk pembelajaran. Beliau menilai kalau kita juga menggunakan kentongan di saat hendak beribadah akan menyerupai orang Nasrani yang juga menggunakan kentongan saat hendak melakukan ibadah mereka.

Dalam kitab tersebut banyak hadis-hadis yang selaras dengan fatwa beliau (pengharaman kentongan). Salah satu hadis populer yang juga beliau kutip adalah sebagai berikut:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ. أخرجه أبو وابن حبان عن ابن عمر رضي الله عنهما

Artinya: “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk kaum itu.” HR. Abu Daud dan Ibnu Hibban dari Ibnu Umar.

Setelah membahas diharamkannya kentongan, beliau mengeluarkan nalar ilmu ushul fikih—yang juga tercantum dalam kitab tersebut—bahwa kita harus pintar menyikapi persoalan ini. Beliau melanjutkan, kentongan diharamkan disebabkan adanya Illat (alasan diharamkan). Illat yang dimaksud adalah adanya unsur tasyabbuh (menyerupai) terhadap orang Nasrani perihal kentongan yang difungsikan untuk kepentingan ibadah. Tetapi, jika illat itu telah hilang maka tidak haram lagi kentongan digunakan. Dalam hal ini berarti, kentongan tidak haram digunakan jika difungsikan untuk selain ibadah, semisal untuk mengumpulkan tukang bangunan agar bekerja kembali atau untuk ronda malam dan lain-lain.

Aktualisasi Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari Tentang Kentongan

Dari pemaparan di atas mengenai pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang kentongan, penulis menemukan nilai yang bisa diaktualisasi. Setidaknya ada dua poin pemikiran yang bisa diaktualisasi. Pertama, selama hal yang kita lakukan tidak bertentangan dengan syariat maka boleh dilakukan. Kedua, pentingnya berproses dalam berdakwah. Untuk poin pertama, penulis memandang melalui pendekatan Ibarah Al-Nash (memahami makna dari teks) dalam ilmu ushul fikih. Sedangkan untuk poin kedua, penulis memandang melalui pendekatan taarikh (sejarah). Artinya, untuk menghasilkan aktualisasi poin pertama dan kedua, penulis menggunakan pendekatan Ibarah Al-Nash dan taarikh (sejarah).

Untuk poin pertama, penulis mendasarkan pada teori mafhum dalam ilmu ushul fikih. Dalam ilmu ushul fikih Ibarah Al-Nash diartikan dengan makna yang langsung dipahami melalui nash (teks-teks Alquran atau hadis). Kalau kita kaitkan dengan konteks tulisan ini maka bentuk nashnya dalam pemikiran KH. Hasyim adalah ‘mengharamkan kentongan dengan alasan ada unsur menyerupai orang Nasrani’. Dengan demikian, dapat dipahami langsung bahwa selama tidak bertentangan dengan syariat maka diperbolehkan untuk dilakukan.

Untuk poin kedua, penulis mendasarkan pada taarikh (sejarah). Dalam kitab Fikhu Al-Sirah Al-Nabawiyyah, Rasulullah saw., melewati empat fase dalam berdakwah. Fase pertama, Nabi berdakwah secara rahasia selama tiga tahun. Fase kedua, Nabi berdakwah secara terang-terangan melalui lisan. Fase ketiga, Nabi berdakwah secara terang-terangan dan membunuh orang yang bersikap aniaya dan orang yang memulai perang. Fase keempat, Nabi berdakwah secara terang-terangan dan membunuh setiap orang yang menjadi penghalang dakwah dan juga membunuh mereka yang tidak berkenan masuk Islam. Dalam konteks tulisan ini KH. Hasyim tidak langsung mengharamkan kentongan, melainkan masih menunggu waktu—kendatipun sebentar—untuk mengharamkan kentongan itu.

Refleksi Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari

Dari dua aktualisasi pemikiran di atas dapat direfleksikan menjadi dua pula. Pertama, jangan sampai melakukan hal-hal yang dilarang syariat. Di Indonesia yang sangat marak, bahkan sudah menjadi budaya adalah adanya orang korupsi. Para koruptor perlu ditindak secara tegas karena sangat bertentangan dengan syariat. Hal ini sebagaimana tindakan KH. Hasyim yang menindak secara tegas mengharamkan kentongan demi menegakkan ajaran agama.

Kedua, dalam berdakwah ajaran Islam harus bertahap, jangan langsung justice ini haram, ini halal. Di Indonesia saat ini penduduk terbanyak adalah generasi Z, yang salah satu cirinya adalah sudah melek teknologi sejak kecil. Dengan melek inilah nantinya menyebabkan generasi Z sulit untuk diatur atau bahkan dinasihati, karena adanya dampak negatif pada teknologi. Oleh karena itu, refleksi kedua dari pemikiran beliau tentang kentongan adalah harus bertahap dalam melakukan dakwah atau menyebarkan ajaran Islam.

Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang kentongan menunjukkan sikap beliau yang tegas sekaligus bijak. Awalnya beliau membolehkan penggunaan kentongan, namun setelah mengetahui adanya kesamaan praktik dengan ibadah Nasrani, beliau mengharamkannya demi menjaga kemurnian ajaran Islam. Kendati demikian, beliau tetap memberi ruang kebolehan jika kentongan digunakan untuk tujuan non-ibadah. Dari sini dapat diambil dua aktualisasi bahwa: pertama, segala perbuatan diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan syariat; kedua, dakwah perlu dilakukan secara bertahap. Refleksi dari pemikiran ini relevan dengan kondisi Indonesia saat ini, yaitu pentingnya ketegasan dalam menindak pelanggaran syariat, seperti korupsi, serta perlunya strategi dakwah bertahap, terutama untuk generasi Z yang kritis dan akrab dengan teknologi.

Daftar Pustaka

Asy’ari, Hasyim. Al-Jaasuus fi Bayani Hukmi Al-Naqus.

Al-Buthi, Muhammad Sa’id Romadhon. Fikhu Al-Sirah Al-Nabawiyyah. Dar Al-Salam, hlm. 83.

Kholaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fikih. Dar Al-Kutub Al-Islamiyyah, hlm. 126.

Sumiyati. Makna Lambang dan Simbol Kentongan dalam Masyarakat Indonesia.

 

Muhammad Robet Asraria Soma
Santri Tulen