berjutapena.or.id,- Musibah Al-Khoziny kemarin tampaknya membuat pesantren semakin menarik untuk dibicarakan bagi sebagian orang. Saya mendengarkan beragam diskusi, membaca tulisan warganet-mulai dari yang biasa-biasa saja seperti saya, hingga warganet yang memiliki kepakaran di bidang-bidang tertentu, dan terlibat diskusi dengan beberapa kolega. Setelah membaca tulisan-tulisan yang diunggah di portal media atau bahkan media sosial, harus saya akui bahwa tulisan-tulisan yang beredar memang terdiri atas dua hal yang hampir mirip dan agak susah dibedakan: kritik dan ujaran kebencian.
Sebagai sebuah institusi, pesantren memang memerlukan kritik eksternal dan otokritik sebagai bahan bakar perbaikan. Saya berterima kasih sekali atas bentuk kepedulian terhadap pesantren yang disampaikan lewat kritikan. Permohonan maaf juga saya sampaikan kepada para kritikus yang mungkin merasa terluka, karena beberapa kritik justru dibalas dengan serangan personal. Maafkan bias in-group vs out-group yang tak kunjung sembuh ini. Namun, atas pemberitaan Trans7 yang sedang menjadi buah bibir itu, saya ingin mengungkapkan beberapa hal.
Pertama. Trans7 sebagai sebuah bisnis yang bergerak di bidang media memang memiliki beberapa tujuan, yang salah satu tujuannya adalah profit. Ini jelas, dan sah. Namun, keinginan untuk meraup untung tidak seyogianya diperoleh dengan menggadaikan nilai kebajikan universal dan memunculkan potensi eskalasi konflik. Engagement memang terasa menggiurkan bagi insan media, tapi sebagai insan yang dibekali dengan etika, engagement tidak boleh menjadi “tuhan” kita. Jangan karena sedang seksi untuk diobrolkan, lantas pesantren dijadikan tumbal untuk sesembahan yang bernama engagement.
Kedua. Jika Trans7 dan beberapa orang memaksa melakukan klaim bahwa video tersebut merupakan produk jurnalistik, menurut saya video tersebut justru mencederai prinsip-prinsip jurnalisme. Dalam teori jurnalistik, objektivitas yang dimaknai sebagai upaya menyajikan fakta tanpa melibatkan bias personal atau ideologis memang menjadi prinsip yang harus dijunjung tinggi. Namun tampaknya, kru Trans7 lupa bahwa fakta sosial tidak lahir dari ruang hampa dan tidak mungkin berdiri sendiri. Ada budaya dan pemaknaan terkait yang melingkupi. Oleh karena itu, prinsip objektivitas dalam penyajian fakta harus dibarengi dengan kearifan dalam memahami budaya yang terkait, agar tidak terjebak dalam generalisasi dan bias epistemologis. Dalam hal ini, saya menduga Trans7 tidak mendalami kultur pesantren, sehingga terlalu buru-buru menyimpulkan perihal amplop, sikap menunduk, “bisnis pesantren”, dan lain sebagainya.
Ketiga. Saya melihat imbas yang luar biasa dari pemberitaan Trans7 kemarin. Salah satu imbasnya adalah persepsi liar tentang pesantren yang makin tumbuh subur di masyarakat kita. Mau diakui atau tidak, Trans7 turut menyumbang daftar panjang stigmatisasi terhadap pesantren (hal ini terlepas dari berbagai hal yang harus dibenahi agar pesantren selalu relevan, ya). Saya tiba-tiba teringat teori konstruksi sosial Berger & Luckmann yang dikaitkan dengan sosiologi komunikasi. Trans7 di sini tidak hanya menyediakan informasi (yang sayangnya hanya berupa potongan pula!), tapi juga sedang membentuk realitas sosial. Namun sayangnya, realitas sosial yang dibentuk justru mengabaikan dimensi budaya, dan akhirnya lahirlah realitas yang dibingkai, atau akrab kita sebut sebagai framing. Sebagai stasiun TV yang jelas-jelas menjadi bagian dari media, saya rasa inilah “dosa besar” Trans7. Dampak lain dari realitas yang dibentuk Trans7 adalah polarisasi yang semakin menajam. Inilah yang saya sebut di atas sebagai potensi eskalasi konflik.
Tiga poin yang saya sampaikan tersebut boleh dimaknai secara suka-suka. Namun, jika diizinkan untuk menjelaskan lagi, saya berniat menulis tiga poin tersebut sebagai bentuk protes, alarm, sekaligus ajakan. Saya jelas memprotes Trans7 atas kesalahan yang mereka perbuat. Selanjutnya, poin-poin tersebut juga saya posisikan sebagai alarm yang menjadi pengingat bagi diri saya pribadi untuk lebih berhati-hati dalam menyajikan narasi. Terakhir, catatan singkat dan remeh ini juga bermaksud mengajak setiap pihak yang merasa terlibat dalam diskursus belakangan ini untuk menepi sejenak; sama-sama muhasabah, mau mendengarkan, menjernihkan pikiran, dan mengupayakan agar ekses ini tidak semakin melebar.
Penulis : Hikmah Imroatul Afifah (Anggota Penelitian dan Pengembangan (Litbang) PW IPPNU Jawa Timur, LTN NU Jawa Timur, dan Pegiat Pendidikan. dapat dihubungi di IG @hikmahimroatulaf.)
Leave a Reply