Saat Layar Televisi Menjadi Cermin Retak: Trans7 dan Krisis Etika di Era Tawa Kosong

berjutapena.or.id,- Apa yang dilakukan Trans7 lewat tayangan yang melecehkan pesantren bukan sekadar “kelalaian redaksi” atau “candaan yang kebablasan”. Itu adalah bentuk kemerosotan moral media—sebuah pengkhianatan terhadap tanggung jawab jurnalistik dan nurani kebangsaan. Dalam satu tayangan berdurasi menit, mereka berhasil menampar ratusan tahun sejarah pesantren: ruang di mana adab, ilmu, dan keikhlasan disemaikan untuk mencerdaskan bangsa.

Luka santri bukan karena mudah tersinggung. Luka itu lahir karena penghinaan tersebut menyentuh inti dari apa yang mereka jaga: kehormatan ilmu dan ulama. Pesantren bukan tempat hiburan, melainkan benteng keilmuan dan spiritualitas. Di ruang-ruang ngaji yang sunyi itu, generasi bangsa ditempa menjadi manusia beradab. Maka, ketika simbol pesantren dijadikan bahan tertawaan, yang dihina bukan individu—melainkan peradaban.

Media seperti Trans7 seolah lupa bahwa kebebasan berekspresi tidak berarti kebebasan menghina. Sekali lagi, kebebasan bukan berarti merendahkan dan demokrasi bukan panggung tanpa etika. Dalam sejarah panjang pers Indonesia, kebebasan selalu berjalan beriringan dengan tanggung jawab sosial. Dari zaman Balai Pustaka hingga reformasi, para jurnalis sejati sadar: kata-kata bisa menjadi pelita, tapi juga bisa menjadi bara. Ironinya, di tengah kemajuan teknologi dan derasnya arus digital, sebagian insan media kini kehilangan rasa malu—menukar nilai dengan sensasi, menukar kebenaran dengan tawa.

Salah satu penyakit kronis media modern adalah kehausan terhadap viralitas. Dalam logika algoritma, yang penting bukan kebenaran, tapi keterpaparan. Selama publik menonton, rating naik. Selama rating naik, iklan masuk. Maka nurani pun dikorbankan di altar kapitalisme. Namun yang mereka lupakan: ada hal-hal yang tak bisa dibayar dengan uang—yakni martabat manusia dan kehormatan lembaga keagamaan.

Pesantren selama ini tidak pernah menuntut istimewa. Santri hidup sederhana, belajar dalam diam, dan berjuang tanpa pamrih. Dari ruang-ruang itulah lahir ulama, guru bangsa, dan pemimpin yang mengajarkan makna ketulusan. KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim, KH. Maimun Zubair—semuanya produk pesantren. Tanpa pesantren, Indonesia mungkin kehilangan arah moral. Maka, ketika televisi mempermainkan simbolnya, yang mereka lukai adalah akar moral bangsa itu sendiri.

Permintaan maaf yang disampaikan Trans7 mungkin menenangkan sebagian orang, tapi tidak cukup untuk menghapus luka batin umat pesantren. Sebab yang rusak bukan sekadar kepercayaan, melainkan rasa hormat. Kepercayaan bisa dibangun kembali dengan pernyataan, tapi rasa hormat hanya bisa dipulihkan dengan tindakan nyata: introspeksi, reformasi etika, dan penghormatan terhadap nilai luhur masyarakat.

Dalam konteks ini, KPI dan Dewan Pers tidak boleh hanya menjadi penonton. Lembaga-lembaga ini lahir untuk memastikan bahwa media tidak menjadi mesin penghinaan massal. Sanksi administratif tanpa pembenahan mental hanyalah formalitas. Yang dibutuhkan adalah pembaruan sistem penyiaran yang berlandaskan sensitivitas sosial, literasi keagamaan, dan kesadaran sejarah.

Santri, pada dasarnya, adalah manusia sabar. Mereka terbiasa hidup dalam kesederhanaan, berjuang tanpa sorotan. Tapi sabar bukan berarti pasrah. Dalam kesunyian, pesantren menyimpan daya spiritual yang bisa mengguncang dunia—sebuah kekuatan moral yang tidak bisa dipatahkan oleh ejekan televisi.

Media semestinya belajar dari dunia pesantren. Di sana, sebelum seseorang berbicara, ia diajarkan untuk beradab. Sebelum menyampaikan ilmu, ia diwajibkan untuk bersuci—lahir dan batin. Sementara sebagian media hari ini berbicara tanpa ilmu, menyiarkan tanpa adab, dan menertawakan kesucian yang tidak mereka pahami.

Kita sedang hidup di masa di mana hiburan lebih mudah diterima daripada kebijaksanaan. Namun, bangsa yang kehilangan kepekaan terhadap yang suci sedang menuju kegelapan peradaban. Televisi yang menghina pesantren bukan sekadar salah siar; itu tanda bahwa sebagian layar kini memantulkan wajah bangsa yang mulai kehilangan malu.