Dari #BoikotTrans7 ke Refleksi Santri: Belajar Mengubah Amarah Menjadi Hikmah

berjutapena.or.id,- Media sosial sedang bergemuruh. Tayangan program Xpose di Trans7 menjadi pangkal dari gelombang kekecewaan publik, khususnya kalangan pesantren. Dalam salah satu episodenya, program itu menampilkan cuplikan seorang pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo dengan narasi yang dianggap melecehkan adab santri kepada gurunya.

Bagi santri, takdzim kepada kiai bukan sekadar simbol penghormatan — ia adalah laku spiritual. Ada yang berjongkok, menunduk, bahkan mencium kaki. Semua itu lahir bukan karena paksaan, melainkan karena cinta yang menuntun tubuh untuk tunduk kepada sumber ilmu. Adab inilah yang diwariskan para sahabat kepada generasi sesudahnya. Sebagaimana disebut dalam hadis riwayat Abu Dawud:

 عن زارع رضي الله تعالى عنه وكان في وفد عبد القيس قال: فجعلنا نتبادر من رواحلنا فنقبل يد النبي صلى الله عليه وسلم ورجله. (سنن أبو داود، رقم ٤٥٤٨)

Artinya : “Dari Zari ra, ketika beliau menjadi salah satu delegasi suku Abdil Qais, ia berkata: ‘Kami segera turun dari kendaraan kami, lalu kami mengecup tangan dan kaki Nabi saw.” – (HR Abu Dawud, 4548)

Dalam tradisi ini, mencium tangan atau kaki bukanlah bentuk penghambaan ataupun perbudakan, melainkan wujud penghargaan tertinggi kepada sang pembawa cahaya ilmu. Karena itu, ketika tayangan televisi memelintirnya menjadi narasi yang tak pantas, wajar jika bara emosi santri seketika menyala.

Data Kementerian Agama mencatat lebih dari 42 ribu pesantren dan 1,3 juta santri tersebar di seluruh Indonesia. Angka ini belum termasuk jutaan alumni dan simpatisan. Maka, tagar #BoikotTrans7 yang menggema di dunia maya bukan sekadar reaksi spontan, tapi juga simbol solidaritas batin: santri tersinggung bukan karena harga diri pribadi, melainkan karena kehormatan adab.

Namun, di tengah riuhnya tuntutan permintaan maaf, sowan, hingga pencabutan izin siar, muncul satu suara yang tenang namun dalam. Kiai Muhammad Fayyad, Mudir Ma’had Aly Nurul Jadid, menawarkan pandangan yang menyejukkan: daripada memusuhi Trans7, mengapa tidak kita ambil alih saja? Mengapa tidak pesantren, NU, atau umat yang berpartisipasi menjadi pemilik saham media?

Pandangan ini terasa seperti oase. Ia mengingatkan bahwa kemarahan tanpa arah hanya akan menjadi api yang membakar diri sendiri. Sementara mengambil alih, mengelola, dan menanamkan nilai pesantren ke dalam industri media adalah bentuk jihad yang lebih produktif.

Karena sejauh ini, tak satu pun stasiun televisi nasional yang benar-benar dimiliki oleh kalangan pesantren. Maka, barangkali inilah momentum untuk mengubah boikot menjadi gerakan intelektual — dari marah menjadi mandiri, dari luka menjadi laku.

Sebab, tugas santri bukan hanya menjaga adab, tetapi juga menebarkan maslahat.

Dan di titik ini, pertanyaan pun mengemuka: sampai di mana sebenarnya puncak kepuasan emosional kita terhadap Trans7? Apakah ketika mereka meminta maaf, atau ketika kita mampu menghadirkan wajah pesantren dalam dunia penyiaran?

Jawaban itu, tampaknya, bukan terletak pada kerasnya seruan boikot, tetapi pada lembutnya cara santri menemukan hikmah di tengah badai. Wallahu A‘lam…. 

Muhammad Robet Asraria Soma
Santri Tulen