Berjutapena.or.id — Stasiun televisi Trans7 menuai gelombang kritik dari berbagai kalangan pesantren setelah menayangkan program Xpose Uncensored yang dinilai berisi narasi merendahkan lembaga pondok pesantren. Selasa, (14/10/2025)
Potongan video dari tayangan tersebut menampilkan narasi satir seputar kehidupan santri, termasuk kalimat yang dianggap melecehkan: “Santrinya minum susu aja kudu jongkok, emang gini kehidupan di pondok?” Potongan ini sontak menyulut amarah publik, terutama dari kalangan santri dan alumni pesantren.
Tagar #BoikotTrans7 pun langsung meramaikan media sosial. Gelombang protes datang dari berbagai daerah, termasuk dari komunitas santri Nahdlatul Ulama. Banyak yang menilai tayangan itu telah mencoreng martabat pesantren yang selama ini menjadi pusat pendidikan akhlak, ilmu, dan adab di Indonesia.
“Kalimat dan framing seperti itu bukan hanya menyinggung, tapi juga menodai kehormatan pesantren yang telah melahirkan ribuan ulama dan tokoh bangsa,” ujar salah satu perwakilan Santri Melawan, sebagaimana dikutip dari Arrahmah News (14/10).
Reaksi keras juga datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH. Cholil Nafis, mendesak Trans7 segera memberikan klarifikasi resmi.
“Jika benar potongan video itu berasal dari Trans7, maka itu penghinaan terhadap pesantren dan ketidakpekaan terhadap nilai-nilai keagamaan. Media seharusnya menjadi ruang edukasi, bukan provokasi,” tegasnya seperti dilansir Inilah.com.
Sementara itu, LBH Ansor Kota Kediri menyatakan tengah menyiapkan langkah hukum atas tayangan yang dianggap mencemarkan nama baik Pondok Pesantren Lirboyo. Mereka menilai tim redaksi program Xpose telah melakukan kesalahan fatal dengan menayangkan potongan yang tidak proporsional tanpa klarifikasi dari pihak pesantren.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak Trans7 belum mengeluarkan pernyataan resmi. Di sisi lain, sejumlah tokoh pesantren meminta publik tetap menunggu klarifikasi resmi sambil mendorong media nasional agar lebih sensitif terhadap nilai-nilai keislaman dan budaya pesantren.
Redaksi Berjuta Pena menilai, kasus ini bukan hanya tentang satu tayangan, tetapi juga soal tanggung jawab etika media dalam menggambarkan realitas keagamaan di Indonesia. Dalam ekosistem demokrasi yang sehat, kritik boleh, tetapi penghinaan terhadap simbol pendidikan dan agama tak bisa ditoleransi.
Reporter: Tim Berjuta Pena
Editor: Muhammad Kholilur Rahman
Leave a Reply