Gaza: Ketika Dunia Membisu dan Kemanusiaan Dikubur Bersama Anak-Anak

1. Saat Langit Gaza Tak Lagi Punya Malam

Sejak Oktober 2023, langit Gaza tak lagi mengenal malam. Ledakan demi ledakan mengguncang setiap sudut kota. Seorang ibu memeluk jasad anaknya, tanpa tahu harus dikubur di mana — karena tanah pun sudah hancur.

Lebih dari 67.000 warga Palestina tewas, dan sepertiganya adalah anak-anak. Setiap hari, reruntuhan menjadi tempat kelahiran dan kematian di waktu yang sama. (Sumber: Reuters, 7 Oktober 2025)

Rumah sakit kini menjadi kuburan, sekolah menjadi puing, dan ambulans tak lagi bergerak.

Menurut laporan Costs of War Project (Brown University), infrastruktur kesehatan Gaza kini berada di “titik kehancuran total.”
(Costs of War, 2025)

Anak-anak duduk di antara tumpukan barang milik keluarga mereka, sementara warga Palestina yang sebelumnya diperintahkan untuk mengungsi ke bagian selatan Gaza mulai kembali ke utara setelah gencatan senjata, di wilayah Gaza bagian tengah, 10 Oktober.
(Sumber: REUTERS / Mahmoud Issa)

2. Genosida yang Tak Lagi Bisa Disamarkan

Komisi Independen HAM PBB (16 September 2025) menyatakan bahwa Israel “secara sadar dan sistematis melakukan tindakan genosida” terhadap warga Gaza. (United Nations, 2025)

Empat dari lima kategori genosida terpenuhi:

  • Pembunuhan besar-besaran terhadap kelompok tertentu
  • Penyiksaan fisik dan mental
  • Penciptaan kondisi hidup yang mematikan
  • Penghancuran fasilitas kesehatan dan keluarga

Namun di ruang-ruang diplomatik, para pemimpin dunia masih berbicara tentang “gencatan senjata yang adil”, seolah pembantaian bisa dinegosiasikan.

Sejumlah warga Palestina melintasi kawasan permukiman yang hancur di Kota Gaza pada 10 Oktober, setelah operasi militer Israel berakhir. Pemandangan itu terjadi tak lama setelah pemerintah Israel meratifikasi kesepakatan gencatan senjata dengan Hamas, meninggalkan jejak kehancuran yang meluas di wilayah tersebut.
(Sumber: REUTERS / Ebrahim Hajjaj)

3. Dunia yang Tahu Tapi Menutup Mata

Tidak ada kekurangan informasi, hanya kekurangan keberanian.

a. Kepentingan Politik dan Uang

Negara-negara besar terus mengirim senjata, bukan makanan. Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan sekutu NATO menjadikan Israel sekutu strategis di Timur Tengah. Kebenaran dikorbankan demi investasi dan dominasi.

b. Media yang Memutar Balik Cerita

Berita global menulis “Israel menyerang target Hamas”, padahal yang hancur adalah rumah keluarga dengan bayi di dalamnya.

Kata “anak-anak” diganti “korban perang” agar terdengar netral. Dalam narasi mereka, nyawa Palestina tak seharga headline politik.

c. PBB dan Hukum Internasional yang Tak Bergigi

Satu veto dari Amerika Serikat sudah cukup untuk membatalkan resolusi sanksi terhadap Israel. Selama lebih dari 40 tahun, Amerika melindungi Israel lewat hak vetonya. (Sumber: UN Security Council Voting Records, 1980–2025)

4. Umat yang Sibuk Menangis, Tapi Jarang Bergerak

Dunia Islam sendiri masih terpecah. Ada yang diam karena takut embargo, ada yang sekadar mengirim doa di mimbar. Padahal doa tanpa tindakan hanyalah isak tanpa suara.

Al-Qur’an mengingatkan:

وَإِنِ اسْتَنصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ

“Jika mereka meminta pertolongan dalam urusan agama, maka wajib bagi kalian menolong mereka.”
(QS. Al-Anfāl: 72)

Apa yang kita lakukan hari ini akan menjadi saksi di hadapan Allah — apakah kita termasuk yang bersuara, atau yang berpura-pura tuli.

Warga Palestina, Jehad Al-Shagnobi, yang sebelumnya terluka akibat serangan udara Israel di rumahnya, berjalan menelusuri reruntuhan tempat tinggalnya di kawasan Sabra, Kota Gaza, pada 8 Oktober. Tangannya yang dipasang alat penyangga eksternal menjadi saksi bisu kekerasan yang menimpa keluarganya.
(Sumber: REUTERS / Ebrahim Hajjaj)

5. Realitas Lapangan yang Tak Bisa Disembunyikan

6. Siapa yang Masih Manusia?

Anak-anak Gaza tidak meminta simpati, mereka hanya ingin hidup. Namun dunia menutup telinga dengan alasan diplomasi. Yang mereka butuh bukan pidato, tetapi air, roti, dan sedikit belas kasih.

“Kami tidak butuh doa di televisi. Kami butuh dunia berhenti menembaki kami.” — Seorang anak pengungsi Rafah, dikutip oleh Al Jazeera Arabic, Mei 2025.

7. Akhirnya, Sejarah Akan Bicara

Hari ini, dunia mungkin bisa membungkam media, tapi tidak bisa membungkam nurani manusia.

Dan nanti — di hadapan Tuhan, ketika semua pemimpin duduk di kursi pengadilan Ilahi —
tidak ada lagi veto, tidak ada lagi sekutu, tidak ada lagi diplomasi. Hanya dua hal yang tersisa: darah yang menuntut, dan diam yang bersalah.

Referensi Lengkap:

  1. Reuters – Human Toll in Gaza
  2. United Nations – Commission of Inquiry on Gaza
  3. The Guardian – UN Legal Findings on Gaza
  4. AP News – Malnutrition Report Gaza 2025
  5. Costs of War Project – Brown University Report
  6. UNHRC Report – Genocide in Gaza
  7. [Al Jazeera Arabic – Rafah Field Interview, May 2025]

Penulis: Muhammad Kholiur Rahman
Editor: Redaksi Berjuta Pena