berjutapena.or.id,- Sepanjang tahun 2024, kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Indonesia menunjukkan tren yang memprihatinkan. Laporan SETARA Institute mencatat 260 peristiwa pelanggaran dengan 402 tindakan, menunjukkan lonjakan signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Ironisnya, pemerintah belum menunjukkan komitmen nyata untuk membenahi persoalan ini, meskipun sempat mengumandangkan janji peningkatan toleransi antarumat beragama.
Peningkatan pelanggaran ini tak bisa dilepaskan dari konteks politik tahun 2024, seperti pemilu nasional dan pilkada serentak. Pemerintah dinilai kurang sigap. Lebih dari seratus pelanggaran justru berasal dari institusi negara, seperti pemerintah daerah, kepolisian, hingga aparatur lainnya. Di sisi lain, kelompok non-negara—seperti organisasi massa keagamaan dan warga—juga menunjukkan tren pelanggaran yang meningkat dan agresif.
Jika ditarik lebih luas, terdapat tiga gejala besar yang menonjol: meningkatnya intoleransi di masyarakat, penggunaan pasal penodaan agama secara masif, dan berlarut-larutnya persoalan pendirian rumah ibadah. Ini menandakan bahwa pemerintah belum menjadikan kebebasan beragama sebagai agenda prioritas. Sementara itu, konservatisme keagamaan terus menguat tanpa kendali.
Padahal, Pancasila sebagai dasar negara telah memberikan jaminan terhadap kebebasan beragama. Namun, di tataran praksis, jurang antara nilai-nilai ideal dan realitas masih menganga. Diskriminasi terhadap kelompok minoritas, intimidasi terhadap pemeluk agama tertentu, serta hambatan pendirian rumah ibadah masih sering terjadi. Ini menunjukkan belum meratanya implementasi nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa.
Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudian Wahyudi, pernah menegaskan bahwa hambatan terbesar pelaksanaan Pancasila terletak pada belum mengakarnya nilai-nilai tersebut dalam kesadaran kolektif masyarakat. Beliau menyerukan revitalisasi nilai-nilai Pancasila melalui pendidikan dan kebijakan yang inklusif dan adil. Menurutnya, Pancasila tidak boleh hanya menjadi slogan, tetapi harus direalisasikan dalam tindakan nyata yang menjamin hak dasar warga negara.
Sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, mengandung pengakuan bahwa kehidupan bernegara tidak lepas dari dimensi spiritual. Sila ini menegaskan jaminan negara terhadap kebebasan beribadah sesuai agama dan keyakinan masing-masing, tanpa tekanan atau diskriminasi.
Pakar hukum tata negara, Jimly Asshiddiqie, menyatakan bahwa sila pertama bukanlah bentuk keberpihakan kepada agama tertentu, melainkan komitmen terhadap perlindungan seluruh agama secara adil. Negara berkewajiban menjamin kebebasan beragama dalam kerangka hukum yang berkeadilan bagi semua pemeluk agama, baik mayoritas maupun minoritas.
Senada dengan itu, Mahfud MD dalam bukunya Politik Hukum di Indonesia menegaskan bahwa Pancasila adalah titik temu antara nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan. Pancasila menjadi payung moral dan hukum yang melindungi kebebasan beragama, serta menjadi fondasi negara dalam menjamin persatuan di tengah kemajemukan.
Dalam konteks ini, Pancasila bukan sekadar dokumen ideologis, tetapi ruh kehidupan berbangsa. Nilai-nilainya harus terus ditanamkan melalui pendidikan, dibumikan dalam kebijakan publik, dan diwujudkan dalam tindakan sosial yang inklusif. Masyarakat, pemerintah, pendidik, dan organisasi kemasyarakatan memiliki tanggung jawab bersama untuk menjaga semangat Pancasila sebagai pelindung kebebasan beragama dan pilar utama keharmonisan bangsa Indonesia.
Penulis : Mohammad Haris Taufiqur Rahman, S.H., M.H. (Koordinator AISNU Bondowoso, Editor in Chief Lex Economica Journal, dan Akademisi Hukum Universitas Bondowoso)
Leave a Reply